Sebuah Cerpen: Anomali Kata

Siang itu, segala yang hidup bertasbih. Mencengkeram ketidakberdayaan mereka laksana kepompong yang mendamba padang.

“Kembali” Teriak seorang berbaju dinas. Ia berlari dengan langkah lebar. Bukan seperti mengejar betulan. Di depannya, kebalikan dari itu. Seorang anak berlari dengan lincah. Tawanya merekah ketika ia menengok ke belakang, mendapati gurunya tengah kepayahan mengejarnya.

Mereka berdua sedang terlibat dalam operasi tangkap tangan ala pedesaan. Anak itu, namanya Saiful. Bukan nakal sebenarnya, hanya sedikit kurang ajar. Sebenarnya bakatnya itu sudah bisa diendus hanya dengan melihat dia sekilas. Rambutnya yang licin diacak-acak macam habis kena setrum, berdiri semua. Ketika ia tertawa, mulutnya menganga lebar. Menampakkan dua gigi depannya yang tidak simetris.

“Balik nang, Masya Allah..” Teriak Pak Miftah, orang yang kusebut berbaju dinas tadi. Saiful berlari semakin kencang memasuki pelataran surau di luar lingkungan sekolah. Surau kampung yang berbatasan langsung dengan sawah yang becek untuk bisa menyeberang ke perkampungan yang padat rumah. Mereka sama-sama tahu –dia akan lolos lagi.

Saiful menyempatkan membalikan badan sebelum masuk ke persawahan. Lagi-lagi ia tertawa keras, seperti mengejek. Kemudian ia melompat ke pematang sawah. Berlari.

Beliau lantas berhenti. Matanya lekat menatap lari bocah itu. Ditampakannya senyum itu, senyum ramah yang terkesan dipaksakan. Kemudian dia berjalan kembali. Kembali.

Sementara itu, milyaran juta cahaya dari sini. Sebuah anomali terjadi.

Hari sedang panas siang itu. Ia tahu murid-murid itu sudah malas menerima pelajaran. Dibukanya buku yang setiap hari memang jadi pegangannya. Sebuah buku klasik bertuliskan Filosofi.

“Logika manusia bersifat sistematis. Manusia punya akal sehat untuk mengetahui peluang empiris mereka”

Semua terdiam. Nampak tidak paham.

“Kalian bernah bermimpi?” Tanyanya kepada semua. Tetapi tak satupun orang menggagasnya.

***

Kembali ke kampung itu. Beliau, Pak Miftah berjalan kembali ke sekolah. Setiap siswa yang dilewati melemparkan senyum kepadanya, menyapa. Beliau mungkin adalah satu-satunya guru muda yang paling disegani di Madrasah itu. Cambang tipis yang mengitari pipi hingga dagu memberikan kesan bahwa ia adalah seorang yang ramah. Juga yang membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.

Seorang guru menyapanya. “Hei..Pak, sudah kau dapatkan bocah itu?”

“Lolos dia,” jawabnya singkat, “Aku tahu karakternya, kalau dia dihukum, yakin aku sikapnya malah tambah menjadi”

Lawan bicaranya menggelengkan kepala perlahan, “Kalau begitu kapan jeranya Mif”

Miftah hanya tersenyum tipis, “Aku akan berusaha mendekatinya”

“Sepintar pintarnya kamu to Mif,” ia menunjuk pintu di sebelahnya, “ada jam aku.” Lalu ia berbelok ke pintu. Membuka sepatunya, kemudian masuk.

Sejenak. Marilah kita kembali ke Seorang pemuda Filosofi itu lagi. Dia sudah selesai dengan kelasnya. Ia pun merapikan buku-bukunya. Menaruhnya di tas dan keluar. Ia menyempatkan diri untuk mampir ke kantor guru. Pamit.

Ini adalah pekerjaan barunya. Menjadi sales penerbit buku Prima Mediatama. Hari ini, entah sial baginya atau memang disengaja bosnya. Ia ditugaskan untuk mempresentasikan buku filosofi umum ke siswa SD.

Ditentengnya tas punggungnya sembari berjalan malas. Ia kerap kali mengeluh tuhan tidak pernah adil. Jika boleh dia sombong, ia akan menunjukan nilai-nilai sempurna yang dicetaknya sepanjang sekolah menengah hingga di penghujung semester kuliahnya. Namun, tetap saja ia sulit mencari pekerjaan yang layak.

Sampailah ia di tempat parkir. Siang itu, motor Honda Supra hitam keluaran 2002 pun menggerus jalanan yang menguap panas.

***

Mari kembali ke teman kita, Saiful. Tak berapa lama ia mengajar, pintu terbuka. Siraman cahaya dari luar hanya menghasilkan penampakan siluet tubuhnya. Namun, Pak Mif tahu siapa dia. Rambut jabrik setrum-nya. Dia Saiful.

Saiful menepuk dahinya. Ia lupa hari ini masih jam pelajarannya. Ia hendak lari ketika beliau memanggilnya, “Pul, stop, mandek, berhenti”

“Sini kamu, bapak mau bilang sesuatu” tambah Pak Miftah ketika melihat Saiful hanya termenung di pintu.

Karena sudah terpergok, apa boleh buat. Ia masuk dan menghadap gurunya.

Pak Miftah terkikik, “Apa sih kamu, sok-soan pasang muka melas

Saiful terhenyak, Pak Mif hanya tertawa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Sudah… Kamu duduk gih” ucap Beliau dengan senyum,

***

Pagi-pagi. Pemuda itu sudah berjibaku dengan motor dan jalanan yang ramai. Suasana itu berubah drastis tatkala ia menghempas kemudinya, berbelok memasuki jalan kampung. Meski bukan tipikal pedesaan dengan sawah menghampar luas, melainkan hanya perkampungan yang sebagian besar lahannya sudah berdiri rumah. Namun suasana di sini masih khas pedesaan. Beberapa rumah joglo dan jalan yang terkesan luas karena halaman depan yang hampir pasti dimiliki setiap rumah.

Dia, pemuda itu, kali ini kembali mendapat tugas untuk presentasi di SD. Sebenarnya, acapkali dia sering merasa jengkel sebab selalu ditugaskan di Sekolah Dasar. Tapi apa boleh buat.

Tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada seorang laki-laki baya yang tengah mengayuh sepeda jengkinya perlahan. Ia sudah sepuh. Bajunya putihnya dilipat dan disetrika rapi, begitu juga celana hitamnya. Di bahunya, tergantung tali tas pinggang berbahan kulit. Baginya, nampak familiar betul orang itu.

Dari penilaian cepatnya, ia menebak orang itu mungkin seorang guru. Tatapan sekilas mereka rasa-rasanya telah merekah menjadi jutaan detik yang ganjil.

***

Doa menggema serempak. Namun Pak Mif malahan hanyut dalam lamunannya. Sudah sedari tadi ia merangkai kata untuk dilontarkannya pada Saiful. Ia berusaha menciptakan susunan kata tanpa ada sedikitpun unsur kemarahan. Karena ia sadar, misinya bukanlah tentang melampiaskan kemarahan. Dia ingin Saiful berbenah, demi masa depannya.

Usai pula doa itu. Pak Miftah mempersilahkan murid-muridnya pulang, kecuali Saiful. Saiful menghela napasnya, bibirnya mengerucut.

***

Saat itu pula. Ia seakan-akan terjungkal dari motornya. Pemuda itu seperti ditimpuk ingatan yang datang sekonyong-konyong. Segera ia memutar balikan sepeda motornya.

***

Pak Miftah mendekati Saiful. “Kau tak perlu lari-larian begitu. Kalau mau, bapak bisa izinkan kamu supaya bisa keluar.” Lanjutnya

Saiful hanya terdiam.

“Bapak tantang kamu, kalau kamu bisa temukan bapak di saat kamu sudah merasa dewasa dan baik. Bapak akan beri kamu hadiah”

***

Pemuda itu memanggil bapak itu. “Pak Miftah! Pak Miftah”

Pak Miftah menjumbul kaget, sepeda yang dikendarainya oleng. Berusaha beliau mengerem sepeda itu. Menengok ke belakang. Didapatinya seorang pemuda dengan senyum lebarnya. Beliau sudah bisa mengenalinya walau ia memakai helm.

Segera pemuda itu turun dari motornya. Berlari menghampiri gurunya. “Apa kabar to pak? Lama nggak ketemu, masih nagajar to pak?” Cecarnya.

“Saiful,” kata Pak Mif tak yakin, pemuda itu mengangguk. “Coba buka dulu helm-mu,” pintanya kepada pemuda itu. Lantas ia pun membuka helmnya.

Pak Mif tersenyum, “Bohong!, kamu nggak Saiful, Saiful dulu rambutnya kan Jabrik”

Mereka berdua tertawa. Setelah pertemuan itu, Saiful mencoba peruntungannya dengan melamar pekerjaan di perusahaan televisi swasta. Ia diterima sebagai editor pengelola. Hadiah yang dijanjikan Pak Mif sebenarnya sudah diberikan kepada semua muridnya dahulu. Tetapi, Saiful belum pernah mengucapkan terima kasih sekalipun kepadanya. Inilah kesempatannya.

TERBENGKALAI, MAAF YA TEMEN-TEMEN.

 

Selanjutnya
Ini adalah halaman terbaru saat ini
SEBELUMNYA
KLIK DI SINI »