Nathan lincah menusukkan pisau ke tubuh singa itu. Aku menangis. Sebelum mataku tertutup sempurna, kulihat Nathan bercucuran air mata. Tangan kanannya menggenggam erat sebilah pisau yang berlumuran darah. Aku juga melihat singa itu terkapar dengan bekas beberapa tusukan di kepala dan perutnya. Jadi… mayat tadi?
***
“Aku sudah dengar itu.”
Nathan berkata kepadaku. Mencoba tersenyum. Aku kesal bukan main mendengarnya, “Apa yang harus aku
lakukan Nathan?”
“Itu bahkan di luar kekuasaanku Em,” Ia meraih jariku,
menggenggamkannya erat, “Lagi pula, aku juga tidak bisa memaksamu menikah
dengan pria sederhana ini”.
Aku mencubit perutnya, “Bagiku kamu tidak sesederhana
itu, Nathan”
Kami saling bersitatap,
lalu Nathan berkata, “Aku janji tidak akan pernah marah pada segala keputusanmu
Emma, tapi saranku adalah agar kau menerimanya”
Mataku mulai panas, cepat-cepat
kualihkan pandanganku dari mata biru beningnya. Aku tak sanggup menatapnya
lebih lama, hatiku seakan hancur ketika membayangkan perasaan pria ini
sekarang.
“Sudahlah, tidak usah
kamu pikirkan hal itu,” ucap Nathan akhirnya. Memecah keheneningan dengan
senyuman yang dibuat semanis mungkin. Tetapi senyuman tidak dapat berbohong.
Demi dia, kuredam
sementara kebimbangan hatiku. Kekerjapkan mataku, lalu disaat aku membukanya,
senyum pun sudah mengembang di bibirku, “Mungkin itu benar Nat, bodoh sekali
bila pangeran itu menyukai wanita kumisan”
Ia tertawa, demikian
pula aku, “Dari dulu, kamu memang paling bisa, Em. Aku mencintaimu, sungguh”
Kupetik ilalang liar
tidak jauh dari tempatku duduk, “Kamu... Nyatain perasaan kayak mau barter barang. Ringan banget,” lalu
kuangkat ilalang tadi tepat dihadapannya. “I
love you to Nathan”
Ia mendengus. Dengan telunjuknya, ia menyentuh
hidungku pelan, “Kamu kayak mau nembak kambing tauk,”
Aku tertawa. Setidaknya untuk sementara kami dapat
melupakan perasaan campur aduk dalam hati kami. Namun, seiring dengan redanya
tawaku. Kami kembali saling diam kalut dalam pikiran masing-masing. Aku
termenung. Memandangi berjuta rumput ilalang yang laksana ombak, hamparan
ilalang yang dibuai indah oleh pawana.
Padang rumput di sini bisa
kupastikan yang terindah di Grinlace -Desa kecil di perbukitan Vils yang
lokasinya tak jauh dari kerajaan-. Rumputnya membentang hijau dengan selir
kuning keemasan. Juga terdapat beberapa pohon besar menyeling, seperti tempat
kami bernaung saat ini.
Lama melamun, aku mendengar suara endusan. Bulu
tengkukku meremang seketika. Rasanya seperti diterpa angin sepoi-sepoi. Aku
menengok Nathan. Ia balik menatapku, sambil mengangkat satu alisnya.
Menyebalkan.
Kuputar leherku. Kutemui hidung pesek berlendir
menyentuh hidungku.
“Itu karena hidung mancungmu Emma,” Nathan mencibir,
“Selamat ya, udah ciuman sama kambing.”
Aku lantas bangkit
berdiri, ingin sekali kujambak rambut coklatnya. Tapi,
“Emma!... Come here, Pangeran telah datang!” Seorang lelaki berambut putih, jangkung, dan bercambang putih pula,
memanggilku. Ia melambai-lambaikan tangan sambil terus memacu kudanya menerjang
padang rumput yang berombak. Dia kukenal sebagai pak Stanley, seorang petani
gandum yang juga teman baik ayahku.
“Kamu harus pergi,” ujar
Nathan.
***
Rombongan kereta kuda
menerjang kerumunan jalan. Para pedangang di pinggiran jalan bersorak, mereka
sesekali membuka topi anyamnya dan membungkuk memberi penghormatan.
Kereta itu parkir tepat
di halaman rumahku. Seorang pengawal membukakan pintu kereta itu. Kulihat
ayahku berlari tergopoh-gopoh untuk menyambut sang pangeran.
Namanya Ronald, putra
mahkota raja kami. Sesuai ingatanku, aku berjumpa dengannya saat diadakan
sayembara syair di kerajaan. Sampai
sekarang, aku tidak pernah tahu alasan ia ingin menjadikanku mempelainya. Kami
hanya pernah ngobrol satu kali, itu pun waktu perlombaan.
Aku berdiri di depan pintu masuk rumahku. Sang
pengeran bersama ayah berjalan mendekat.
“Hai Emma,” sapa pangeran, dia mendekatiku dengan
santun.
Belum aku sempat
bereaksi, ia dengan cepat meraih tanganku dan merendahkan posisinya, “Emm, aku
sudah tidak mau lagi berbasa basi lagi, yang jelas, semanjak pertama kali
melihatmu, aku sudah jatuh cinta padamu. I
Love You Emma”
Tubuhku gemetaran bersamaan dengan masuknya cincin di
jari manisku. Miris sebenarnya, seorang gadis desa berdiri di depan pangeran
yang menunduk memakaikan cincin untuknya. Sekeliling rumahku penuh bersesakan
banyak orang, tapi aku selalu tahu keberadaan satu orang. Nathan.
Sepertinya Pangeran melihat
kegelisahanku, “Aku tidak memaksamu Emma, tapi…” dengan lembut ia mengangkat
tanganku, dan menciumnya. Semua orang bersorak sorai, bertepuk tangan. Dan dari
sini, dapat kulihat Nathan mengangguk sambil tersenyum. Sumpah, hatiku tersayat
melihatnya.
***
Aku berlari menuju
rumah Nathan, tapi dia tidak ada disana. Bergegas aku ke pohon tempat biasanya
kami mengobrol. Kutemukan dia disana, duduk melamun.
“Nathan,” Sapaku
setelah dekat.
“Kau seharusnya
langsung saja menerimanya,” Ujarnya tanpa memandangku.
“Aku nggak bisa
bohongin perasaanku Nathan”
Kini Nathan menatapku,
“Tapi itu yang terbaik untukmu, Emma. Aku tahu aku cinta kamu, very very love you, but, dia pria yang
baik, pangeran pula, aku seneng kok kalau kamu seneng,” ujarnya.
“Kamu yakin aku bakal Seneng kalau sama dia, kalau aku sih
nggak begitu yakin”
“Pasti Emma, pasti!”
Kugelengkan kepalaku,
“Kamu salah sangka Tan, cintaku benar-benar hanya untukmu, tak akan ada
siapapun yang bisa merubahnya. Sekaya dan setampan apapun dia”
Nathan berdiri di hadapanku,
memegang kedua tanganku. Kulihat wajah sendunya, rambut coklatnya yang bergerak
tertiup angin, hidung lancipnya, semuanya. Ia adalah orang paling sempurna
dalam hidupku.
“Sekarang, lupakan
aku,” hatiku tertusuk seketika seketika saat Nathan mengucapkannya, seakan
belati
“Nggak Nathan.” Ucapku
menunduk di pelukannya. Menangis tersedu.
***
Malam ini, kuhabiskan
waktuku memandangi cincin di jariku, Aku tahu, Ronald adalah bangsawan
baik-baik, tampan, juga sopan. Tetapi haluan hatiku tidak dapat lagi dirubah,
aku benar-benar sudah mencintai Nathan dengan sepenuh hati. Sudah lama bahkan
semenjak kita bersama, saling memahami satu sama lain, juga saling menyayangi.
Kini keputusannya
bulat.
Besok pagi, dia akan
menjemputku dan ayah untuk dibawa ke kerajaan. Oh ya, aku belum cerita tentang
bagaimana respon ayah. Dia tidak memojokanku, meskipun dari raut wajahnya, ia
mungkin berharap aku menerimanya.
***
Kereta itu datang lagi.
Kuberanikan diri untuk langsung menghadapanya sebelum ia turun dari kereta.
Kukatakan bahwa aku tidak bisa menerima cincin ini. Kuhaturkan pula permintaan
maafku. Dan, tanpa berkata-kata, ia pergi meninggalkanku.
***
“Nggak nggak, nggak mungkin,” dia memalingkan
wajahnya. “Itu malah menambah masalah Em,” Ujar Nathan
“Maksudmu?”
“Dia pasti nggak akan terima keputusanmu Emma!”
Kulihat raut mukanya, Nathan tampak gelisah, “Nathan…”
Panggilku, “Kamu kenapa? Aku tahu, pasti ada yang kamu sembunyikan dariku”
Belum Nathan menjawab. Tiba-tiba, terdengar suara
derap rombongan kuda dari arah desa. Tak lama kemudian, beberapa mata panah melesat
menusuk pohon-pohon yang jauh di sana.
Di kejauhan, kulihat ayahku memacu kudanya yang
berlari kearah kami, “Emma, pasukan kerajaan menyerang.” Teriaknya kepadaku.
Ia turun dari kudanya ketika sampai di depan kami,
“Bawa ini, cepat! Pergilah dari sini!.” Ucapnya tegas.Kami berdua dipaksa naik kuda ini sedangkan ayah diam
tak bergeming.
Kuulurkan tanganku kepadanya, “Ayah, ayolah naik.”
Tetapi dia menggeleng. Aku baru menyadari kalau perutnya saat ini sudah basah
dengan cairan kental merah.
Aku tertegun melihat
itu, “Ayo, kita masih bisa menyelamatkanmu” Ucapku tak bisa menyembunyikan nada
putus asa.
“Tidak, ayah hanya
merasa ini sudah waktunya.” Lalu ia memandang Nathan, “Jaga Emma baik-baik
Nathan”
Suara derap kuda terdengar. “AYO CEPATLAH..!!!” Teriak
Ayah.
Nathan menarik
kemudi, kuda kami pun mulai berlari. Kutengok ke belakang. Dari balik punggung
ayah, busur panah sedang meluncur ratusan milimeter perdetik. Tidak berselang
lama, aku melihat anak panah keluar dari perut ayah.
Tangisku pecah, aku
meronta meminta untuk turun. Jarak kami dengan Ayah memang belum terlalu jauh,
tetapi Nathan urung mengerem sebab beberapa orang berkuda juga sedang berlari
mengejar kami.
***
Kami meliuk-liuk
melewati rimba belantara. Hingga tiba di sebuah air terjun, kami berhenti.
Kelihatannya sudah aman.
Kusandarkan punggungku
ke pohon, tubuhku lemas. Nathan datang membawa segelas air.
“Dari mana dapat Gelas Nat?”
Ujarku
“Nemu disitu, mungkin
tempat ini sering disinggahi para pedagang,” Jawabnya. “Oh ya. Ada sesuatu yang
belum kuceritakan padamu”
“Apa itu?”
“Pangeran itu nggak
akan berhenti ngejar kita Emma”
Kutundukkan kepalaku, lalu menggeleng perlahan, “Ini semua salahku ..”
Nathan menempatkan
telunjuknya di bibirku, membuatku bungkam, “Bukan Emma, sebenarnya, kemrin aku
terlibat perkelahian dengan dia”
Kupandang dia lekat-lekat, mencari tatapan liar
Nathan. Mata birunya digenangi air mata, tetapi tidak menetes. Aku tahu Nathan
sedang berusaha terlihat tegar di hadapanku.
***
Aku terbangun ketika matahari sudah condong ke barat, pertanda malam
akan segera menerkam. Gemuruh aliran sungai mengingatku akan kesunyian. Dia pasti mencari makanan.
Kurasakan tubuhku jauh lebih baik. Kuputuskan untuk
mencari Nathan, karena seingatku aku tertidur di siang hari dan pada saat itu
pula Nathan pasti pergi mencari makanan kami.
Semakin ke sisi utara air terjun, hutan makin lebat
saja rasanya. Aku berjalan pelan, sekali-kali memanggil namanya. Namun
kelihatannya pencarianku tidak membuahkan hasil, tenagaku sudah mulai rontok
lagi dan mungkin aku bisa saja pingsan saat ini juga.
Tenagaku sudah setipis
kertas, “Nathan … Are you okay!! Dimana
kamu!...”
Sudah tidak terelakkan. Aku sudah tidak kuat berdiri
lagi. Aku duduk sekenanya di bawah pohon yang besar dan lebat. Kuseka keringat
di dahiku dengan lengan, pada saat itu juga, mataku langsung menyipit, dahiku
beranak tiga. “Nathan??”
Seperti diestrum oleh
ratusan ribu volt listrik, tenagaku tiba-tiba meledak. Aku berlari kearah
dimana orang berbaju abu-abu itu terbaring. Jarakku memang masih beberapa puluh
meter darinya dan aku kaget melihat ada singa yang nampaknya baru datang saat
aku berlari. Langkahku terhenti. Kaget. Sontak aku menjatuhkan diri ke samping
kiri, berlindung di balik pohon besar. Dari situ, aku bisa melihat tubuh
seorang laki-laki yang kuyakini adalah Nathan sudah terbaring kaku, dengan tiga
busur panah menancap di punggungnya.
Rasanya ini tidak adil,
aku laksana terjerembap dalam lautan kesedihan. Baru tiga jam yang lalu aku
kehilangan ayahku. Kini aku harus kehilangan pria paling kukasihi. Satu-satunya
yang mungkin masih aku punya di dunia ini. Tetapi sekarang?. I don’t know. Oh God. Pathetic.
Aku sudah putus asa.
Untuk apa kulanjutkan lagi, yang justru malah membuatku makin menderita. Aku
pun keluar dari persembunyianku, menampakkan tubuhku kepada sang Singa.
Sang singa tersenyum lebar. Aku pun demikian. Singa
itu meninggalkan jasad tengkurap itu, berjalan macam kucing mengincar tikus.
Matanya memicing mengamati setiap gerikku. Aku sudah siap!!.
Lalu dia meloncat. Berlari.
Kurelakan tubuhku ini dicabik-cabik oleh Singa itu. Sakit
sekali rasanya. Taringnya dengan beringas menyobek kulitku laksana kain yang
tak terpakai. Aduuuuh,.
“Emma,” teriak seseorang. Aku kenal suaranya. Dan aku tercekat!
Aku menangis. Sebelum
mataku tertutup sempurna, kulihat Nathan bercucuran air mata. Tangan kanannya
menggenggam erat sebilah pisau yang berlumuran darah singa. Aku juga melihat singa
itu terkapar dengan bekas beberapa tusukan di kepala dan perutnya. Jadi.. mayat tadi?, jadi… jadi… itu bukan
mayat Nathan. Ohh Nathan, I’m sorry
“I
forgive you Emma” Katanya.
Lalu ia menusukkan
pisau itu di perutnya sendiri. Ia terbaring disebelahku. Setelah itu, mataku
tertutup. Ruang suci perlambang sunyi menyambutku. Heaven-hell.
Hatiku
mengkristal/ Nadiku mengerang, berdebar seakan itulah tujuannya.
Padahal,
kataku itu bukan/ Aku telah belajar banyak dari tamparan bara kehidupan
Nadi
hanya sarana bagi kita untuk hidup/ Dan hati ialah mutiara suci tabiat.
Ketika cucuran air mata ini habis/ Aku tahu/ Kristal nadiku telah luruh.
Dan aku yakin/ Aku sudah tiada.
Ketika cucuran air mata ini habis/ Aku tahu/ Kristal nadiku telah luruh.
Dan aku yakin/ Aku sudah tiada.