Sebuah Cerpen: So, We are in Dream

NB: Sebenarnya ini bukan cerita baru, sekitar 3 atau 4 tahun lalu kutulis. Ceritanya sangat halu, tapi entahlah. Post aja ya kan...


Kelopak mataku membuka. Jantungku berdegup kencang, sontak kusingkap selimut yang melingkupiku. Mengecek keutuhan kakiku. Syukurlah. Aku lega bukan main mengetahui kejadian tadi hanyalah mimpi. Kali ini aku dapat merasakan indraku bekerja secara sadar, bebas bergerak sesukaku.

Dalam hatiku masih tersimpan sedikit keraguan. Bagai marcusuar, kepalaku memindai sekitar, meja dan kursi belajar, lemari hingga poster Ultraman sama persis seperti kamarku (Atau ini memang benar-benar kamarku).

BELUM! Aku masih belum percaya, aku pasti masih mimpiKuterka kembali ruang kamar ini, mencoba mencari bukti yang dapat mengkonfirmasi keraguanku. Aku tahu kamar ini lebih sunyi dari biasanya. Padahal, suara berisik hampir selalu menggelayuti indraku tiap pagi begini. Entah itu suara teve yang ditonton ayah, atau teriakan manja adikku yang paling kecil. Namun, saat ini, aku laksana berada di ruang nihil udara. Yang tidak mengindahkan sedikitpun getar suara merambat. Walau masih leluasa bernafas.

“Semua ini bohong.” kutampar pipiku sendiri. Aku lelah, lelah untuk kesepian. Lelah untuk bekerja keras meredam takut. Lelah menghadapi ketidakpastian. Nasibku sekarang tak ubahnya seperti debu. Terhembus tiada pasti.

Dercit engsel pintu menggugah gundah ini, kutengok apa itu. Siluet seseorang muncul, aku takut. Dia berjalan dengan langkah kecil, Oh Tuhan. Siluet tersebut terpendar, sepicing cahaya kamar ini laksana tangan penghapus duka. Aku terperanjat, sulit berkata-kata. Bungkam seribu Bahasa. Namun hatiku menceracau,

Sebelum hadirmu, /Unsur tak ber-elektron laksana menyamaiku. /Aku terbata mengumbar aksara sembari coba mengais air mata, /Dahaga… /Letih… /Cemas…

Dia berjalan anggun mendekatiku. Apa gerangan yang akan ia lakukan?. Kutepis segala prasangka buruk. Coba mempercayainya sepenuh hati, namun, tetap saja aku tidak bisa. Selalu saja ada kutipan-kutipan ragu yang mencuat dari pikiranku.

“Jangan Takut.” Suara itu nyata terdengar, “Aku datang untuk membantumu Nicky, ada prahara besar yang membidikmu.

Ketika ia berbicara. Bulir jernih berkejaran keluar tanpa musabab yang jelas. Aku terisak sendiri, tergemap bak baru dihantam ombak. Hatiku berbisik-bisik lelah“Apa maksudnya? Dimana aku sekarang? Apa aku sudah mati?

Seakan dapat mendengarnya, ia berkata, “Belum saatnya Nicky, hari ini bukan jatah pemutusan ruhmu. Walaupun jika kamu lengah sedikit, ini bisa jadi akhir hidupmu”

“Kau...”

Pejamkan dulu matamu.

Kupejamkan mataku. Ada binar-binar cahaya cantik memproyeksikan sebuah gambar. Gambar yang menjelaskan sebagian pertanyaanku

OOO

Langkah beberapa orang berderap. Kalimat tahlil senantiasa terucap mengringi tiap langkah mereka. Beban berat yang mereka panggul dapat terefleksikan dari letihnya raut muka mereka. Ada kalanya mereka keluar dari rombongan, mungkin karena saking beratnya dia yang di dalam keranda itu. Keranda berbalut kain hijau segar dengan hiasan bertuliskan “la ila ha illallah” dalam aksara arab berwarna kuning emas yang indah. Tetapi selalu dihindari.

Tidak aku ketahui mengapa aku di sini. Segala sesuatu di sekitarku tampak asing. Rumah-rumah yang sunyi dan betonase jalan hitam pekat yang tidak pernah kulihat sama sekali. Karena limbung, kuputuskan untuk bergabung dengan barisan. Mengikuti jenazah itu dan bersama-sama mengucapkan tahlil.

Entah ini hanya perasaanku atau apa, yang jelas aku merasakan kami telah berjalan sangat jauh. Melewati rumah-rumah yang sama dengan jalan yang tiada berakhir. Bahkan jika dilihat dari sini, jalan itu seakan melenggang lurus dihadapanku dan tenggelam di cakrawala.

Gelimang keringat mulai bercucuran. Langkahku mulai berat, kaki ini bagai diikat pada ratusan bola bowling. Aku berusaha berbaur dengan pengiring lain, berharap mereka mau memberi petunjuk atau setidaknya dapat berbaik hati memberikan seteguk minum. Namun, keramahan tidak terpancar sedikitpun dari mereka. Wajah mereka letih dan kaku, tidak nampak setetes pun keringat di situ. Yang pada akhirnya memaksaku bungkam seribu bahasa.

Terik mentari tiba-tiba menyorot ke wajahku, kuangkat tangan kananku untuk menghalang terangnya cahaya menerobos langsung ke mataku. Sedikit demi sedikit, dapat ku rasakan cahaya itu berangsur sirna. Pelan kuturunkan tanganku, dan terperangahlah aku melihat di mana kakiku sekarang berpijak. “Ini adalah rumput,hatiku yang paling dalam berkata.

Kutegapkan kepalaku yang tertunduk, dan benar, aku sekarang tengah berjalan di tengah padang rumput yang luasnya tak tertimang. Semuanya bahkan rumput dan satu satunya batas di sini lagi-lagi adalah horizon. Sang garis tepian langit, garis yang menyatukan landscape rumput dan langit dalam gradasi apik. Ditambah panorama langit biru bersih tanpa awan kian membuatku terpukau.

Baru sebentar saja, pemandangan indah ini telah berganti. Ada tranformasi yang kulihat kali ini. Ada semacam gas hitam menyembur dari tiap celah tanah dan memakan setiap inch rumput yang ada. Hingga dalam sekejap, rumput telah habis tak tersisa.

Tak lama setelah itu, timbul getaran kecil di tempatku berjalan. Lalu dalam sekedip mata, tanah tiba-tiba merekah di sana sini. Kami terombang-ambing. Ini gempa batinku. Kami terpontang-panting ke sana kemari menghindari tanah yang merekah cepat tiada tertebak. Beberapa kali kutengok ke dalam rekahan tersebut, aku mulai gentar. Gejolak lahar panas menanti di bawah sana. Aku ingin pingsan.

Sedang orang-orang di sekelilingku nampak tidak terganggu, sedari tadi hanya kalimat tahlil yang terucap dan lagi kutegaskan!, raut muka mereka berubah pun tidak.

Aku sendiri mulai kelabu, tidak ada kepastian dimana aku sekarang, kemana aku berjalan dan bagaimana cara untukku pulang. Semuanya menyatu padu menjadi anomali lalu buyar ketika aku sadar telah tertinggal jauh dari rombongan. Sial pekikku dalam hati. Semakin kukejar mereka, rasanya semakin jauh saja jarak diantara kami, aku bagai melangkah dalam kubangan lumpur.

Aku akhirnya menyerah, bersimpuh sedih di tengah ancaman celah maut yang sewaktu waktu dapat menelanku jatuh. Menangis dalam kesendirian, tidak ada lagi pengharapan. Jika diminta memilih antara hidup dan mati, sudah pasti aku akan memilih untuk tiada. Ini benar benar tidak tertahankan, batin dan fisikku rapuh. Rasa sepi menyelisip tanpa pamit, keram di kaki yang muncul dan makin menjadi menghajarku tanpa ampun. Ditambah suasana lingkungan neraka ini, aku benar benar muak.

Air mataku encer, mengalir perlahan dengan rute yang anggun, lalu jatuh terkapar di tanah. Aku kesal kenapa ini terjadi padaku, tanganku menggagau sekitar, meremas apapun yang dapat kucapai. Tapi??, Pikiranku terusik, kutoleh apa yang kuraba. Kutemukan gundukan tanah dengan dua batu nisan, ini adalah makam. Tempatku berdiam sekarang adalah kompleks makam, sudah bukan lagi alam kering dengan tanah merekah rekah.

Ada kerumunan di salah satu liang lahad baru. Aku mengenal wajah-wajah mereka. Mereka itu kan?. Ahh, terang saja aku kenal, mereka itu kan rombangan pengiring jenazah tadi.

Keram di kakiku mencapai puncaknya. Sakit sekali hingga memecah teriakanku, seiring dengan itu aku dapat merasakan sesuatu semakin gencar menyusup ke setiap rongga tulang dan menggerogoti entah apa di sana. Rasa sakit ini tak tertahankan.

Hingga pada suatu titik mendadak sakit itu lenyap. Intuisiku mengatakan itu bukan pertanda baik, dan benar, kedua kakiku tidak dapat kugerakan. Sesuatu di dalam sana pasti telah memutus koneksi syarafku. Sejurus kemudian, muncul lubang di betis kananku, lalu keluar seonggok tulang tak bersumsum dari sana. Disusul dengan lintah lintah yang menyembur tak terhitung.

Di sela tangisanku. Aku melihat gejolak api dalam liang lahad itu. Salah seorang dari rombongan membuka tempurung keranda itu. Sungguh nahas, seseorang dengan kaki putung terbaring hampa di sana. Semakin curiga aku dibuatnya. Siapa mayat itu?, Sebuah pertanyaan yang bagai balon gas, mengambang begitu saja di langit lepas.

Orang yang mengangkat mayat itu seakan benci dengan tugasnya. Buru-buru ia membuangnya ke liang. Bersamaan dengan itu sekonyong-konyong panas menerkam seluruh tubuhku. Aku meronta, mengais tanah dengan garang. Sakitnya macam dihantam godam. Seakan aku terhubung dengan mayat itu.

Namun, sebelum aku terpejam. Ada satu sosok makhluk cantik melayang di hadapanku, Chrazeors” aku berbisik pelan. Sedetik kemudian, semuanya menjadi putih.

OOO

“Kau Chrazeors, benar KAN!!, kamu muncul tepat sebelum aku terpejam. Lalu, apa arti mimpi ini?”

“Ada sesuatu di luar sana yang mengincarmu,” nada bicaranya kini serius, “setelah ini kamu akan mengalami kembali mimpi tersebut. Tugas kamu adalah mencari seorang figur mimpi. Dia adalah orang yang paling berpengaruh terhadap hidup dan matimu. Hidup dalam arti dapat kamu ajak bicara”

Aku hanya diam.

“Maaf aku tak menjawab semua pertanyaanmu. Aku sudah bilang waktu kita amat terbatas Nicky”

Aku benar-benar lelah. Kuanggap semua itu omong kosong, ”Jika benar ini MIMPI, harusnya aku bisa bangun DONG!, buat apa aku susah-susah cari figuran atau apa LAH itu. Serah deh”

Baiklah, sedikit kujelaskan padamu. Saat ini kamu sedang dalam kendali para Vandal, si setan jahat pengganggu. Mereka berusaha membunuhmu Nicky. Carilah Figur mimpi da__”

OOO

Aku kembali lagi ke jalan ini. Jalan beton di tengah kampung. Lalu seperti yang kutebak dari arah barat rombongan pengangkat jenazah berderap. Aku buru-buru bergabung pada rombongan tersebut. Kini perhatianku terpusat pada kata Chrazeors. Mencari seorang figur mimpi.

Sedikitnya petunjuk membuatku limbung. Aku menyesal karena tadi aku hanya membuang buang waktu. Padahal, sudah jelas ia ingin membantuku. Dan aku sekarang yakin jika sekarang aku memang tidak akan dapat bangun. Mimpi ini seperti betulan dan menjebakku.

Dari tadi. Aku curiga pada satu orang. Dari awal pun ia sudah keluar masuk barisan karena kelelahan. Meski ekspresinya datar, tetapi itu terlihat seperti dibuat-buat. Aku mendekatinya, “Hai”

Ia tak bergeming. Ah totolnya aku, ‘Hay’ bukan sapaan yang epik.

“Bro,” aku mengulanginya dengan model yang berbeda.

Dia menoleh. “Yap! Akhirnya” Ucapku di hati

“Kita mau ke mana sih,” kucoba berbasa basi. Siapa tahu dijawab. walaupun sepertinya dia tidak ingin keluar dari aktingnya. Atau jangan-jangan, bukan dia yang kucari.

Tanpa kuduga ia menjawab, “Liang lahadmu!”. Kemudian dia tersenyum jahat.  Senyum yang membuat siapapun benci tatkala melihatnya.

Seperti skenario di mimpi sebelumnya. Aku telah mencapai fase di mana padang rumput meluas sejauh mata memandang. Oh indah banget, memang aku sedikit lega mengetahui kalau ini adalah mimpi. Tapi tak dapat kusembunyikan rasa takut yang membanjiriku.

“Liang lahatku ?” kuberanikan untuk bertanya,

Tiba-tiba ia menjadi lebih luwes. Nampaknya aku berhasil memancingnya keluar dari peran. “Kena kau.

“Aku tidak sebodoh yang kau kira” Ujarnya

“Aku tidak menganggapmu bodoh”

“Memang ... kau tidak pernah mengatakannya. Tapi ingat siapa diriku”

Gumpalan hitam menyeruak dari tiap klorofil rumput. Langit mengeriput. Menjadi gelap seketika.

“Kau??” Migrain melanda kepalaku hebat.

Tanah merekah cepat. Daya rumput telah sirna.

“kau ... adalah...”

Bumi pun menggelinjang hebat.

“Kau adalah Nicky.” Aku tersentak, “dan kau adalah aku”

Tanah didepanku merekah tanpa diduga. Figur mimpi itu terperosok. Tanganku berusahasa merengkuhnya, dan hal itu berhasil. Berhasil kugapai salah satu tangannya. Namun, aku melupakan hukum fisika dasar “Orang yang jatuh, jika ditarik akan menyebabkan orang yang menariknya jatuh pula”.

Angin berhembus menyibak helai rambutku. Lahar panas telah bersiap menyambutku. Tarikan gravitasi amat kuat kurasa. Nyawaku nak lepas.

Panas. Kuliku melepuh. Bara. Ahhh. Cairan ini telah memilikiku, aku dibekapnya erat-erat. Lava itu masuk menggeliat di kerongkonganku dan seketika menghujam lambungku.

OOO

Napasku terengah. Kurasakan sentuhan halus di pipiku. Tapi ini lain, rasanya dingin.

Segera aku bangkit.

Ia menitihkan air mata.

“Kamu telah merubah skenarionya Nicky

Kenapa kau tak BILANG, yang di keranda itu MAYATKU kan…

“Maaf Nicky, ucapnya penuh penyesalan.

Kini sejuta pemahaman mengalir deras dalam otakku. Aku ingat apa yang kulakukan sebelum tertidur. Kala itu aku sedang menuggu bus di halte bersama Rey. Kami bercengkrama. Dan tiba-tiba, satu awak bus menyelingkuhi jalurnya sehingga melindasku.

Dan aku sadar pula, kesempatan kedua dan terakhirku telah sia-sia. INI KARENA AKU SENDIRI! BODOH!.

“Kau mengalami Anomali mimpi Nicky, cahaya dalam balutannya tampak mulai memudar, ”Itu adalah mimpi ketika fase Rapid Eye Movement dalam tidurmu. Nyawamu di ujung tanduk kala itu. Dan Anomali Mimpi adalah kesempatan kedua untukmu. Tapi Maaf

Singkatnya, Vandal sudah memutus kehidupanku” kukatakan fakta itu walau aku pun ogah untuk mengakuinya.

Cahaya Chraezors sekarang berpendar ke segala penjuru, “Ternyata waktu kita habis, Sekali lagi, Maaf Nicky. Akan kusampaikan salammu pada Rey,.

Sosok eter itu pun lenyap tanpa bekas. Dalam pandanganku, ruang suci kembali terbentuk. Putih dan tenteram.

Juang hampa siluet pembenaran / Kau serahterimakan aku dalam keheningan / Kau bunuh aku dalam timangmu / Cerca dan Cela / Kulantunkan tanpa______

Selanjutnya
« KLIK DI SINI
SEBELUMNYA
KLIK DI SINI »