Dongeng Kuda Lumping dan Misteri Gadis Berapi


Manusia berserakan laksana kapal pecah. Irama yang semula mengalur perlahan mendadak berubah penuh jeritan. Salah seorang penari tiba-tiba berlagak seperti harimau. Dia mengaum galak ke arah wanita yang mengenakan baju kuning bergambar Pandhawa. Boleh kuakui, memang cantik paras wanita itu.

Si penari mengambil ancang-ancang, seperti hendak menyeruduk sesuatu. Kemudian, ia berlari ke arah wanita tadi. Sang wanita menjerit. Melompat-lompat jengkel.  Aksi yang paling membuatku bergidik adalah makan beling. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana beling itu bisa muat dalam perut manusia yang sempit. Belum pernah ada catatan medis tentang pengangkatan pecahan kaca dari perut pemain kuda lumping.

Semua penari Kuda Lumping itu konon sedang kesurupan. Yaitu kejadian dimana arwah makhluk ghaib merasuki tubuh manusia. Bukan maksud menghina, tetapi pada kenyataannya tidak semua tubuh manusia enak untuk ditempati. Karena pikiran manusia itu kotor. 

Seseorang berbaju serba hitam menenangkan para pemain. Sedetik kemudian, para penari mendapat kesadarannya kembali. Pertunjukan telah usai, warga yang semula ramai menonton berangsur sepi. Begitu pula para penari Kuda Lumping ini. Dengan napas lega orang-orang ini membersihkan sisa-sisa pergelarannya.

Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda tersenyum sembari berkata. “Aku toh tadi menang banyak!” Dia tidak lain adalah penari yang kerasukan harimau tadi. Teman-teman yang mendengarnya mengembangkan senyum mereka.

“Kenapa to mbah, kita ndak pakai kesurupan asli?” Tanya pemuda itu kepada sang datuk. Seorang pawang berbaju serba hitam yang merupakan pelatih mereka. 

Semuanya menoleh. Raut wajah Datuk berubah seketika. “Mau gimana lagi Gus, kita ini sudah jarang disewa acara besar. Kalau di setiap tampil kita kesurupan, ndak sepadan sama resikonya. Kalau kita berhenti nanti siapa to yang meneruskan?” Keluh Mbah Mardi.

Seorang penari lainnya menyahut. “Tenang Gus, kamu ndak bakalan suka kalau kerasukan beneran!” Celetukannya segera diikuti tawa dari penari lainnya.

Semuanya sudah rapi. Para penari hendak pulang ketika telepon Datuk berdering. Senyum menjumbul dari bibirnya, ia tampak senang bukan main. Apa gerangan yang telepon itu lakukan? Semua penari dikumpulkan. Datuk berdiri dengan sejuta peluh di wajahnya. “Kita dapat tawaran dari kepala dusun, ada tim penilainya”

“Acara apa itu Mbah” Ujar salah seorang penari.

Dengan singkat orang tua itu menjawab. “UNESCO, kita sedang rebutan kesenian ini dengan negara tetangga, Malaysia”

Akhirnya, semuanya pulang dengan mulut tidak dapat dihentikan. Mereka terus membincangkan perkara acara itu. Apa yang akan mereka lakukan dan yang tidak kalah penting adalah: apakah Datuk akan menggunakan ritual betulan?

Dari semua anggota sanggar ini, aku paling tertarik kepada Agus Budiantara, orang yang kalian kenal sebagai penari harimau di awal tadi. Anggota paling muda di sini. Barangkali belum pernah merasakan keindahan kesenian ini sebelumnya. Keindahan ketika aku merasukinya.

Kuputuskan untuk mengikutinya pulang. Sepuluh menit jalan kaki, Agus tiba di sebuah rumah kecil di sudut pedesaan. Masih berupa bata merah. Sederhana tetapi cukup untuk melindungi Agus dan Ibunya dari terpaan cuaca. Menurut ingatan Agus, sudah satu bulan ini sejak ibunya didiagnosis gila oleh masyarakat.

Sehari-hari, ibunya hanya mendekam di kamar, pandangannya kosong. Malam itu dengan secuil uang yang diperolehnya hari ini, Agus membeli kerupuk di warung sebelah. Dengan ikhlas, pemuda tersebut menyuapi ibundanya.

Esok harinya, Agus bersiap-siap untuk menuju rumah Datuk. Ada acara di balai desa dan kami mendadak dipanggil. Tentu saja kami tidak sempat persiapan. “Anggap saja ini sebagai ajang latihan” kata Datuk sebelum memulai ritual.

Seusai ritual tersebut, pagelaran pun di mulai. Lima penari laki-laki turun disertai tabuhan kendang. Aku menyaksikan mereka semua menari dengan kompak. Kali ini ada yang beda dari pertunjukan ini. Datuk, dengan pakaian serba hitam duduk bersedekap di sudut lapangan. Tepatnya dibalik para pemain alat musik. Beliau seperti merapalkan suatu doa.

Pandanganku tiba-tiba saja menjadi kabur. Dalam beberapa menit aku seperi tersedot dalam lorong gelap yang aneh. Seketika kehangatan mengalir ke tubuhku dan ketika aku bisa membuka mata, sesuatu yang aneh terjadi.

Aku merasakan beratnya tubuh yang kalian tahu ini tidak mungkin. Mataku juga tidak hanya menangkap apa yang kulihat, tetapi terkadang ada sedetik jeda yang menampilkan suatu mozaik gambar. Setelah beberapa detik, aku sadar. Aku berada di tubuh Agus.

Ketika semua penari beraksi, aku menggeliat tidak nyaman. Karena setiap mozaik bayangan yang muncul merupakan imajinasi Agus. Imajinasi kotor dan memuakkan. Hal itu masih bisa kumaklumi. Akan tetapi ada sekelebat bayangan muncul dengan cepatnya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas.

Bayangan itu muncul lagi, kali ini aku menangkap seorang wanita yang kutahu merupakan Ibu Agus. Namun lagi-lagi bayangan itu hilang, sepertinya Agus sengaja mengalihkan. 


Sepersekian detik kemudian, bayangan itu muncul kembali. Kali ini dengan durasi yang lebih panjang. Di bayangan itu, Agus menggenggam sebuah pil. Apa yang Agus tahu aku pun mengetahuinya, karena kita satu tubuh.

Aku menggeliat marah, meronta-ronta, menjerit. Aku melihat beling dihadapanku, kugerakkan tanngan Agus untuk mengambilnya. Agus mengunyah beling itu dengan lahapnya. Aku mulai benci pada manusia ini. Keinginannya untuk membunuh ibunya telah membuatku lupa diri. Pil itu.  


Selanjutnya
« KLIK DI SINI
SEBELUMNYA
KLIK DI SINI »