Cerpen ini terdiri dari beberapa sudut
pandang yang berbeda setiap title bab-nya :
Enigma di Tanah
Mars
Story by : Rendy Agus Setiawan
Aku selalu iri
pada burung, menurutku mereka adalah makhluk paling cantik yang
diciptakan tuhan untuk menghiasi langit. Dibawah nanungan awan, mereka terbang
seakan dunia tanpa batas.
Kisah ini dimulai 4 tahun yang lalu, tentang
perjalanan sahabatku, Ginan. Kisah ini
dibuat untuk mengapresiasi sekaligus mengabadikan kisah sahabatku Ginan.
S D
SD
menjadi masa paling menyenangkan dalam lingkaran hidup manusia. Terkadang
kenangan tentang apa yang kita lakukan dulu membuat kita tertawa sendiri dan
berpikir, betapa tololnya kita dulu.
Aku berteman baik dengan dia sejak kelas
4, sosoknya begitu murung saat pertama kukenal dulu, aura melankolis seakan
telah mengalir menyatu dengan darah. Meskipun dibalik semua itu ia memiliki
kreatifitas tinggi dan sifat yang unik. Ketika mendengar ia berbicara pertama
kalinya kepadaku, aura melankolisnya lungsur tak terduga, meski seorang pria
yang pemalu dia akan melakukan apapun demi membuat orang tertawa meski
terkadang itu membuatnya terlihat aneh.
Pertemanan kita awat hingga tahun-tahun
berikutnya. Hingga pijakan nasib membuatnya berubah drastis.Itu terjadi ketika
kami menginjak kelas 6, tahun ajaran baru dimulai. Untuk kali pertamanya kami
kedatangan siswa baru, namanya Yena Alysia Fitria, nama yang unik pikirku.
Perkenalan berlangsung seperti halnya siswa baru lainnya, setelah
memperkenalkan nama dan ini itu. Guru kami, Bu Dewi Yunadi atau biasa kami
panggil Bu Dewi mempersilahkannya duduk. Ia ditempatkan di sebelah Delima, satu
satunya siswa yang duduk sendiri sejak kelas satu dulu.
{Kelas kami memiliki 25 murid, dengan
komposisi 14 laki laki dan 11 perempuan. Memiliki 5 banjar meja dan setiap
banjar terdiri dari 5 meja dan 10 kursi. Aku dan Ginan duduk berdampingan di
banjar ke-3 di kursi nomor 3. Sedang Delima duduk di banjar ke-4 kursi nomor 4} –Sudahlah kawan, jika anda bingung tak usah
dipikirkan, baca saja.
Jam telah menunjukan pangkuan cintanya,
pukul 9. Seharusnya bel berbunyi di jam ini, semua murid menunjukan wajah
gelisah. Kami ingin berkenalan lebih dalam dengan murid baru tadi.
“KRIINGGG … KRINGGG … KRRINGG”
Kami bersorak gembira. Bu dewi segera
membereskan buku bukunya lalu pergi meniggalkan kelas. Bagai magnet, tempat
duduk Yena seketika dikerumuni para semut udik. Wajar saja, selama 6 tahun kami
baru merasakan momen ini. Apalagi Yena adalah sosok yang asyik diajak bicara,
mudah akrab dan murah senyum. Namun, ada yang kurang, Ginan, ya Ginan. Dia
tidak berada di sini. Memang sejak tadi, tepat pertama kalinya kaki Yena
menginjak ubin baris pertama kelas kami, tepat ketika pertama kalinya mulut
kecil Yena mengucapkan salah satu huruf vocal. A(ssalamualaikum). Ginan tampak
bersedekap menutup wajahnya, tak sepicing beras pun ia menengok.
Pulang sekolah, aku mencoba bertanya
kepadanya, tiba tiba saja ia memasang wajah memelas. Kami pun duduk di bekas
toko sate yang berada di pinggir jalan dekat sekolah kami.
“Teman, jika aku bicara maukah kamu
menjaga rahasia” Ginan memulai pembicaraan
Dari situ aku mulai menangkap maksud
dari Ginan, alasan kenapa dia murung, alasan kenapa dia lari dari perkenalan,
dan alasan yang menyingkap semua tabir. Tetapi karena ingin memastikan aku
berkata
“Rahasia apa teman” Sambil menepuk
pundak Ginan
“Gini lho ta…. “
“Hei, Prends … lagi ngapain”
Tiba tiba
teriakan lantang menepis kalimat Ginan, itulah Joko, lengkapnya Godang Joko
Raharjo. Manusia paling keren dan modis di kelas kami. Meskipun logat bicaranya
terkesan ndeso dan namanya pula seperti nama suku udik nan terpencil di pelosok
Indonesia.
Tanpa beban aku
mengucapkan
“Lagi … ”
“Ngobrol aja” Ginan menyergap pembicaraanku seketika.
“Ya sudah, aku memastikan saja”
“Maksudmu, memastikan !!” Ucapku sambil mengerunyitkan dahi.
“Dari tadi, jika dilihat. Kalian berdua itu lebih mirip pengantin baru”
“Pernah ke pesta perkawinan” Sambung
Joko.
“Pernah” Jawab kami berdua serentak.
Entah apa yang merasuki Joko, dengan
modal wajah polosnya ia tanpa malu bernyayi dan berjoget di depan kami.
☸ Sungguh senangnya pengantin baru
☸ Duduk
bersanding bersendau gurau
☸ Bagaikan raja
dan permaisuuuuuri
Kami tergelak, pasalnya goyangan
pinggulnya sama sekali tak cocok dengan lagu yang dilantunkannya atau lebih
mirip cacing yang tak sengaja tergenjot kaki mausia, ditambah lagi suaranya yang
serak melengking seperti suspensi mobil carry tahun 80’ an.
Mungkin karena tak tahan atau berniat
iseng, Ginan segera merogoh sesuatu di dalam tasnya. Lalu, tanpa ampun dengan
semangat Spartan, disumpalkannya
benda itu ke mulut Joko. Setelah itu Ginan langsung mengambil langkah seribu,
begitu pula aku. Intinya kami berdua ngibrit lari meninggalkannya. Ketika
kutanya apa yang telah disumpalkan tadi, aku kaget. Ginan menciptakan Anomali. Benda itu adalah cadangan
celana dalam Ginan. (Senarnya ini rahasia
kami berdua, Ginan memang dari dulu sering pipis dicelana. Itulah alasan
mengapa ia membawa celana dalam cadangan)
P U I S I
Esoknya, ketika pelajaran Bahasa
Indonesia. Bu Muslimah Anggraini, guru bahasa Indonesia kami memberikan tugas
yang super pelik kepada kami, yaitu membuat puisi minimal 5 bait. Satu kelas mengeluh,
seketika suasana menjadi gaduh. Namun, aku melihat ketenagan dari Ginan. Dengan
gesit ia menuliskan bait demi bait puisi, aku baru tahu selama ini, Ginan
sangat mahir dalam membuat puisi. Tak tahu dari mana kata itu ia dapat,
semuanya seperti mengalir begitu saja melewati syaraf mungil tangannya memberi
muatan ke pulpen lalu menyambar nyambar setiap partikel unsur buku.
Tak kurang dari 15 menit, puisi 8
baitnya telah siap. Aku tergoda, kuacungkan jari dan berteriak menginformasikan
Bu Mus bahwa puisi Ginan telah siap. Sontak, kaki Ginan menginjak kakiku keras.
Bu Mus terlanjur mendengar, alhasil, Bu Mus mempersilahkan Ginan untuk maju dan
membacakan puisinya. Aku tahu Ginan adalah seorang yang pemalu, aku merasa
bersalah telah menumbalkan temanku itu. Tertekan karena teman satu kelas
menyorakinya untuk maju, akhirnya dengan terpaksa setengah pasrah Ginan
memberanikan diri untuk maju. Puluhan pasang mata mengawalnya, dengan takzim
dilantunkannya puisi tersebut
Jantungku
berdentum kencang setiap detiknya
Badai
menderu pelipis nadiku
Seribu
serdadu menyergap ulu Hatiku
Kita tahu
Meski
jambalaya Cinta kita baru bertunas
Tak peduli
betapa naasnya perjuanganku
Jutaan
klorofil daun menjadi saksi
Dimana cinta
kita berhulu
Satu kelas tertegun mendengarnya, hal
asing ditelinga kami, seluruh siswa menyeruakan kata serupa “ Cieeeeeeee”. Sebuah
puisi cinta pertama selama 6 tahun kita belajar. Bu Mus tersenyum, menunduk
disamping Ginan lalu membisikan sesuatu
“Apakah kamu sedang jatuh cinta” –Aku mengira-iranya
Ginan
tersenyum. Bu Mus mengisyaratkan kami untuk memberi applause kepada Ginan.
Sambil menunduk Ginan pun kembali ke tempat duduknya. Sekarang aku malah merasa
Ginan berhutang budi padaku.
Kembali, Bu. Mus memberi kesempatan bagi
yang mau menampilkan hasil karyanya. Sebenarnya, bukannya aku dan teman ku
lainnya belum selesai, tetapi, kami serta merta menjadi minder mendengar
gertakan batin Ginan lewat puisinya tadi. Setelah menunggu agak lama, Bu. Mus agknya
dapat sedikit tersenyum karena ada satu siswa yang mengacungkan jari, satu cukuplah.
Itulah Yena, sebuah keberanian atau
kenekatan tersendiri baginya yang masih berstatus murid baru. Dengan senyum
riang ia melangkahkan kakinya ke dapan, Ginan mengikuti lajunya, pandangannya
tak dapat lepas memperhatikan setiap delik gerakan Yena, mungkin baginya rambut
cepak sebahu Yena bagikan selendang emas yang menyilaukan pandangan.
Semyumannya yang manis dan tentram bagai mega merah di sore hari yang bersih.
Dibacakannya
puisi :
Hidup bagaikan
gendang gurindam
Tertabuh,
tersakiti, senewen ketika waktunya
Aku ingin
bertanya kepadamu, pujangga
Mengapa
harus ada cinta manakala ada benci
Andai kamu
mengerti
Sebanarnya
sepicing emaspun ku tak kuasa
Menahan
magisnya rembulan jingga
Seperti puisi balasan,
suara kecil indah menari nari di telinga kami, membuat kami trenyuh hanyut ke
dunia anti gravitia yang diciptakan puisi mereka berdua.
Kepompong Yang Menjadi Kupu-Kupu
Namun, Tidak
Dapat Terbang
Seperti yang diceritakan Yena kepadaku :
Kini tiga bulan sudah Yena masuk ke
kehidupan kami. Kami mulai menyukai sosoknya yang asyik dan murah senyum.
Tetapi jika kuperhatikan, sejak tiga bulan terakhir ini Ginan sering melamun.
Aku juga paham betul yang ia rasakan, begitu dalamnya rasa sukanya membuatnya
bungkam. Apalagi manusia seperti Ginan yang pemalu, akan sangat sulit untuk
tersampainya perasaan itu. Hal itu secara tidak langsung juga mempengaruhi
hubungannya dengan Yena, Ginan boleh dikatakan jarang sekali berbincang dengan
Yena, paling-paling ketika ada yang penting saja.
Selama tiga bulan itu pula kami mengenal
kebiasaan Yena, menulis cerpen. Satu-satunya murid yang aktif dan konsisten
menerbitkan karyanya. Ginan pun kelihatannya memiliki hobi baru, membuat puisi.
Dua bakat yang saling membutuhkan, dapat disatukan jika mau. Walupun
kenyataannya sulit, Yena seperti orang asing di mata Ginan begitu pula sebaliknya.
Takdir berkata lain, hari itu Ginan
kelihatannya agak pucat, katanya malam tadi ia terpaksa harus tidur tengah
malam demi menyelesaikan tugas kerajinan tangan yang rencananya masih akan
dikumpulkan besok.
Ginan tertidur sesaat setelah bel
istirahat berbunyi. Sedang Yena, juga terlihat sibuk di tempat duduknya. Kelas
semakin kosong, para siswa memanfaatkan waktu istirahat yang singkat ini di
kantin.
Kini, di kelas hanya ada 2 manusia, Yena
dan Ginan. Sunyi, hanya terdengar goresan pulpen Yena ke kertas lirih, tiba
tiba
“Akkkkhhh”
Ginan menguap,
kedua tangannya dilentangkan ke atas macam menyembah matahari.
Yena
tersingkap, lalu tertawa kecil.
“Bangun tidur ya”
“Aikh”
Ginan agak
kaget mendengar suara yang sudah tak asing lagi ditelinganya. Dibalilkan
badannya, ternyata benar itu Yena
“Iya nih, he he”
Yena menunduk,
tergelak sembari memanggut manggutkan wajahnya. Ginan menimpali
“Lagi nulis cerpen ya”
Tundukan Yena
bangkit, senyum seketika mengembang dari wajahnya. Dia bangkit dari tempat
duduknya. Dengan langkah kecil ia berjalan menuju meja Ginan dan duduk
disebelahnya.
“Aku sedang berpikir nih”
“Tentang”
“Bagaimana kehidupan kita berjalan besok”
“Dalem banget mikirnya”
“Bukannya seperti itu, contohnya saja
aku, aku tahu menulis menjadi pekerjaan yang tidak terlalu menjanjikan
kedepannya,. Tetapi aku ingin menulis,
tidak tahu dari mana rasa itu datang”
Ginan menarik
napas panjang
“Jika kita menulis karena senang akan
hal itu, tidak peduli apa pekerjaan kita besok, kamu pasti akan terus menulis.
Dan suatu saat ketika tulisanmu telah siap dan dipublikasikan, kamu bukan hanya
sekedar penulis, kamu seorang multitalent”
Suasana hening sekarang, Yena tidak
menyangka Ginan dapat berbicara sepadat itu, Ginan mungkin nampak kaku dan
dingin dalam obrolan pertamanya ini.
Kerongkongan Ginan tak kuasa menahan setiap kalimat yang mengendap di
trakeanya, ia masih kalah beradu …
“eh iya, kamu biasanya kalau istirahat keluar,
ada apa ?
“Lagi bokek nih. Kamu mau traktir aku” Yena mengucapkannya tanpa basa-basi.
Mendengar hal itu tanpa pikir panjang
dan membuang-buang kesempatan, Ginan berkata
“Boleh, ayo !!”
Yena merapikan bajunya kemudian berdiri
menatap Ginan, Ginan takjub. “Ayo berangkat” Yena merengkuh tangan Ginan
setengah menarik.
Tibalah mereka di kantin, Ginan nampak
memilih-milih satu dari tiga warung yang ada. Akhirnya, jari telunjuk Ginan
bermuara di warung ke-2, warung pemimpin katanya.
Meja dan kursi panjang khas kantin telah kosong, itu terlihat dari mangkok yang
belum sempat dibereskan ibu kantin. Memang keadaan di kantin sekarang sudah
agak lengang. Mereka duduk berseberangan, pandangan Yena masih berpencar
melihat tempat asing baginya.-Maklum,
murid baru.
“Eh Nan, kenapa disini”
“Menurutku disini adalah kantin terbaik
untuk anak seusia kita”
“Enak ya makanannya”
“Bukan, penjualnya baik baik banget plus
Murah”
“Huuuu, Pantesan traktir” Yena cengengesan sendiri.
Dalam sekejap, keduanya telah lekat bak
ditumbuhi jamur rhizopus orizae. Obrolan
mereka berlangsung seru, penuh tawa. Seperti pembawaan Ginan yang humoris Yena
pula memiliki imajinasi tak terduga yang membuat perkataannya menjadi sesuatu
hal yang asyik untuk ditunggu. Untuk pertama kalinya kepribadian mereka yang
sejatinya saling membutuhkan dapat disatukan. Yena dan Ginan tidak mengetahui
bahaya sedang mengincar mereka, bahaya yang muncul karena Ginan sendiri.
Selesai makan Ginan segera menyelesaikan
administrasi ke ibu kantin, dan disitulah musibah dimulai, anda semua pasti
telah menebaknya. Ginan tidak membawa uang, Ia mungkin tidak beruntung karena
telah sampai di depan ibu kantin. Ginan bungkam seribu Bahasa. Keringat dingin
bercucuran di ribuan pori-pori nya. Wajahnya mengunyit ….. Satu sentakan di
pundaknya serta merta hampir membuat jantungnya copot
“Eh
nan”
Ginan terkesiap
“Kenapa ? gak bawa uang ya” Ucap Yena
dengan tawa riang
Tenang
nan, Yena menyerahkan lembaran uang 10.000 ke ibu kantin, -kembali 5000. Setelah
keluar dari kantin Ginan merasa konyol, tangan kirinya tak henti-hentinya
mengukur ubun-ubun “Kenapa uangku nggak
ada” pikirnya. Yena tak lepas memperhatikan tingkahnya sedari tadi
“Kamu kalau lagi gitu, mirip sahabatku
deh”
“Siapa”
“Napoleon”
“Keren banget namanya, orang Zimbabwe
ya”
“Bukan, boneka monyet aku”
Ginan tergelak, tawa keduanya pecah di
saat itu pula. Akhirnya setelah agak reda, Ginan menginisiatifi dirinya sendiri
untuk angkat bicara
“MmmMmm, Yen. Soal tadi maaf ya”
“Gak papa kok, lagian kamu juga pinter
pilih kantinnya”
“Murah banget kan …… Oh ya, tapi tadi
katanya kamu sedang bokek”
“He he … tadi itu bercanda lagi !!,
lagian juga kamu tadi setuju aja. Lumayan kan”
“Klau gitu, besok uangnya aku ganti ya”
“Nggak perlu”
“Beneran ……”
“Iya ya, rugi dong, kalau begitu kamu
bisa traktir aku besok”
“Siip
deh”
M U S I B A H
Seperti
yang diceritakan Rosmala kepadaku :
Minggu malam
ini, keceriaan membungkus keluarga pak Beny Kusanadi. Sudah menjadi kebiasaan
keluarga mereka bila akhir pekan untuk hanya sekadar berkumpul saling bertukar
cerita. Tetapi pekan ini berbeda, si bungsu, Mahfud. Besok akan berulang tahun,
agaknya agar menyamai tradisi orang-orang kota nan kaya mereka ingin membuat
kejutan atau surprise dalam istilah
sekarang, maka didiamkanlah si anak bungsu sejak pagi tadi. Tiga orang kampong itu mendiskusikan
kejutan {Beny, Rosmala, Tinawati}. Meski begitu kelihatannya diskusi diplomatik
mereka berjalan lancar. Disepakati sang ayahlah yang menemui Mahfud malam
ini.
“Nak, kamu pasti sudah tahu kan alasan
kami mendiamkanmu sahari ini” (aneh)
“Aku belum tahu pak”
Padahal sejatinya
mahfud sudah tahu betul apa yang terjadi.
“Bapak punya serpres untuk kamu”
Mahfud melonjak
bersemangat sekali, pak Beny hanya menggeleng kecil
“Benar pak .... !!!!! kejutan apa ?”
“Besok juga kamu akan tahu”
“Yahhhh”
Meskipun agak
kecewa. Tetap hati Mahfud dibuat senang tak kepalang
“Kamu sekarang tidur dulu, besok
sekolah”
“Ya pak” Mahfud menurut
Meskipun begitu, bagi Mahfud tidur malam
ini mungkin tak semudah membalikan telapak tangan. Jantungnya berdecak tak
karuan membayangkan hadiah apa yang akan diberikan ayahnya besok.
Matahari belum menampakkan wajahnya,
kokokan ayam senewen membangunkan Mahfud pagi itu. Masih pukul 04.00. ingatan
akan kejutan itu memberikan semangat tersendiri baginya. Kerena tak biasanya,
Mahfud membantu ibunya mencuci pakainan, menjemur pakaian, menyapu, bahkan
memasak yang biasanya jarang sekali dilakukannya.
Pagi itu pula, Mahfud sadar ada yang
kurang dalam paginya, Ayah. Ketika bertanya kepada ibunya, terang saja tidak
terjawab, itu karena Rosmala telah terlibat dalam perjanjian diplomasi. Rasa khawatir
mulai menyergap Mahfud “Apakah bapak lupa dengan surprise itu”
Kursi lapuk berjamur di halam rumah
menjadi persinggahan lamunannya. Senyum sendiri, terkadang panik, hatinya panas
dingin. Bahkan lamunannya tak buyar ketika ada pertempuran sengit kucing garong
dihalaman rumah satu meter dari posisinya.
Justru suara halus yang membuyarkan
lamunannya.
“Nan, sudah jam setengah tujuh”
Hati Mahfud
meracau, “Ah, baru jam setengah tujuh”
“Baru jam setengah tujuh ...!!!”
Mahfud panik bukan
main, ia juga sempat terpelanting dari kursi lapuk itu, kemudian lari tergopoh-gopoh
masuk ke dalam rumah tanpa sadar celana kolornya robek.
Sedang, dimana Pak Beny ? Yang pasti
sedang bekerja, ia memakai kompensasi kerja dengan berangkat awal untuk pulang
awal pula pula. Apakah pak Beny lupa? Tentu tidak, hadiah telah dipersiapkannya
sedari kemarin.
Pukul 10.00
Rosmala yang tengah menyapu halaman rumah terkejut
melihat sebuah mobil pick up memasuki pelatarannya. Kemudian supir beserta
kenek-nya turun
“Betul ini rumahnya pak Beny”
“Betul pak” Rosmala menyahut.
Dari pick up itu sang supir menurunkan
sebuah sepeda merk polygon, sang knek memberikan sebuah kwitansi pembayaran, ia
meminta Rosmala menandatanganinya.
Sang supir
berteriak
“Jan, ayo ini motornya berat”
Rosmala melirik, lalu berkata
“Motor siapa ini pak”
“Pak beny memesannya kemarin bersama
sepeda ini, ibu dapat melihatnya di kwitansi itu”
Terpampang sepeda motor Honda Beat 2011,
black jazz 11.400.000 dan sepda polygon 76-G seharga 2.987.000. Rosamala senag
bukan main, ia betul-betul tak menyangka keinginan yang sudah menjadi angan
angan dia bersama suaminya sejak 11 tahun yang lalu dapat terpenuhi, –selama
ini mereka belum pernah memiliki motor.
Sebelum pergi
supir itu mengucapkan pesan titipan pak Beny
“Jaga motor ini beserta anak-anak, itu
amanah yang dikatakan Pak Beny kemarin. Katanya disuruh menyampaikan ke ibu”
“Terima kasih”
“Sama-sama”
Sari membayangkan betapa senangnya
Mahfud ketika tahu ia mendapat sepada itu. Dan tak dapat dipungkiri, Rosmala
juga senang akan hadiahnya. Khayalannya menguap, susunan acara telah ia buat.
Pertama, Rosmala akan mengejutkan Mahfud ketika pulang sekolah nanti, setelah
itu sambil menunggu suaminya pulang, ia akan mempersiapkan segala sesuatu untuk
berkamping. Sekeluarga akan diajaknya berkamping ria di persawahan.
Tak sabar Rosmala menantinya, tiap 5
menit sekali ditengoknya jam, “Apakah jam ini rusak” ia berguman sendiri. Baru
menginjak jam 11.00, dia bahkan telah menunggu pulangnya kedua anaknya di kursi
lapuk yang berada di halaman depan. Padahal waktu pulang anak SD rata-rata
antara jam 12 sampai jam 1 siang. Setiap ada sepeda mendercit, matanya menatap
tajam kearah sepeda itu hingga mereka mempercepat kayuhannya. –Mungkin karena
takut.
Di ujung jalan sana, sura motor
menggelegar. Rosmala menengoknya, seorang laki laki mengendarainya dengan
kecepatan tinggi, lalu berhenti dihalaman rumahnya
“Rosmala” nafasnya tersenggal senggal
seperti knalpot astrea 76.
“Ya benar, ada apa ya”
“Maling...”
Rosmala kaget, dia
tahu motor barunya sedang terancam.
“Kamu ingin maling”
“Bukan, Pak Beny. Diserempet maling dan
terjatuh di sungai”
Rosmala tercenung, berusaha
menerjemahkan setiap kalimat yang dilontarkan pria yang tak dikenalinya itu
“Sampai sekarang belum ditemukan” lelaki
itu manambahkan
Hatinya mulai perih, setiap kata yang
didengarnya bagai ribuan parit yang menusuk wajahnya.
“Bu .... Bu ......”
Rosmala sadar
“Bapak bercanda ya”
“Sudah bu ayo ikut saya”
Meskipun otaknya telah menangkap apa
yang terjadi namun hatinya masih ragu, tidak mungkin ini terjadi. Dalam
perjalanan semua organ tubuhnya mengejang, meskipun akhirnya ia dapat memahami
situasi, kenyataan bahwa orang yang paling dicintainya dalam bahaya. Isak
tangis Rosmala membeludak, ia teringat pesan tukang anatar tadi Jaga motor ini beserta anak-anak. Semua
terjadi begitu cepat. Meskipun ia terus menjaga harapan, pikiran kotor sering
kali menyelinap ke benaknya, apa aku
loncat saja dari motor ini.
Di TKP, orang ramai berkumpul. Ada yang
diatas tanggul, di atas jembatan, dan tak sedikit pula warga yang membantu
proses pencarian bersama tim SAR. Rosmala tak tahan, ia meronta-ronta,
berteriak histeris, sempat pingsan. Lalu, bangun lagi meronta-ronta, histeris
lagi.
Meskipun akhirnya berita baik muncul, Pak
Beny ditemukan. Rosmala mengetahui hal itu, ia berlari bertalu talu, menyendal
nyendal sesekali terjatuh lalu dan pada akhirnya menghujamkan dirinya ke
pelukan tubuh pak Beny yang sudah terbaring lemah tak bernyawa. Wajahnya pucat
pasi, perutnya kembung tanda banyak kemasukan air keruh tadi. Di bekapannya
Rosmala menagis tak karuan, air matanya membasahi pipi pak Beny, ia menyibak
rambuat suaminya, mengusapkan lembut, lalu mencium keningnya.
Satu perbuatan mulia, mengikhlaskan
orang meninggal. Jenazah Beny digotong ke ambulan, Rosmala menemaninya. Ia juga
meminta tolong lelaki yang telah mengantarnya tadi untuk menjemput kedua
anaknya di Sekolah.
Mahfud pulang
sekolah berjalan kaki bersama adiknya Tinawati. Tiba di rumah, ia manyun karena
melihat keadaan rumah yang sepi, pintu tertutup tetapi ia tetap berpikir
positif kalu ini adalah bagian dari skenario pemberian hadiahnya.
Setelah membuka pintu, sepeda baru telah
berada didepannya. Memang ini sengaja dipersiapkan Rosmala sebagi skenario
surprise. Mahfud girang segali, ia mencium-cium bahkan menggelut sepeda itu.
Adiknya geleng-geleng melihat tingkah kakaknya.
“Kak, siapa itu”
Laki laki bersepeda motor memasuki halam
rumah
“Mana”
“Assalamualaikum” seorang lelaki mengucapkan salam seramah
mungkin
“Dek, ibu meminta kalian untuk ikut om,
baru pulang dari sekolah ya”
“Om siapa” tanya Mahfud
“Saya adalah teman ibumu”
Mereka berdua tak bergeming.
“Marilah, ikut Ibu punya kejutan untuk
kamu” Lelaki itu mengucapkan tengan nada terisak.
“Tapi kita belum kenal om” Tinawati
berucap polos
“Sudahlah, om tidak akan berbuat
macam-macam pada kalian. Ayah mendapat hadiah, kalian harus hadir mengucapkan
selamat padanya”
Lelaki itu berhasil mengangkut kedua
anak itu ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit ia bertemu dengan ibunya yang
masih menangis di kursi tunggu depan ruang jenazah.
“Ibu, katanya Ayah mendapat hadiah ya?”
Dua kakak beradik itu mengucapkan hampir bersamaan.
Rosmala semakin dalam menunduk, ia tahu
suaminya telah mendapat hadiah di syurga.
Kepompong Yang Menjadi Kupu-Kupu
Namun, Tidak Dapat Terbang
Seperti yang aku tahu :
Senin, 7 November 2011
Pagi ini jadwalku untuk piket, biasanya aku melakukan piket pagi ini bersama Ginan, kebetulan jadwal piket kita sama. Namun hari ini aku harus melakukannya sendiri. Tidak masalah memang, justru sekarang permasalahannya adalah perasaanku yang kurang baik terhadap Ginan.
“Kotor sekali kelas pagi ini” Gerutuku dalam hati
{Sabtu kemarin kami baru merayakan ulang tahun teman kami, Ginan. Dan meniru gaya orang-orang di tv kami memupukinya dengan tepung dan telur, seperti tape goreng. Karena itu keadaan kelas hari ini masih kotor sekali}
Sampai di bangku Ginan. Ketika aku membungkuk untuk menyapu lantai di bawah bangku itu, aku menemukan lipatan kertas terselip di antara 2 potongan kayu didasar kursi, tersembunyi sekali tempatnya. Kertas itu telah dilipat beberapa kali hingga ukurannya menjadi 1 x 1 cm. Sedikit tawa menjumbul dari bibirku mengetahui sejatinya itu adalah selembar kertas yang dilipat sedemikian rupa hingga menjadi partikel kecil seperti ini. Pasti Ginan membutuhkan waktu yang panjang untuk melipatnya.
Seperti dugaanku isinya adalah puisi, seperti ini isinya
Tidak masalah kau rengkuh sepernova dariku
Aku telah memiliki segelintir kebahagiaan tanpanya
Biarkan awan menyingsikan lajunya
Biarkan pula debu mendapat haknya
Terima ka.....
Tulisannya hanya sampai disitu, mungkin puisi itu belum terselesaikan olehnya.
“Whhaaaa”
Joko mengagetkanku
“Ampun deh ko, jantungku mau copot”
“Apaan tuh ???” raut mukanya penuh pertanyaan
Kujitak kepala lelaki naif itu
“Kepo saja kau”
Joko pergi, kelihatannya marah. Ia menaruh tas di tempat duduknya sebelah Udin. Segera kukembalikan lipatan itu ke tempat semula.
Bel masuk berbunyi. Aku mengembalikan sapu yang kupegang ke tempat asalnya dan segera menempatkan diri di bangku. Para murid yang berduyun-duyun masuk terpontal dalam pintu sempit itu. Penuh tawa bagi mereka, miris bagi yang melihat. Tapi aku tak paham, kenapa Ginan belum juga datang ?
Tak lama Bu Dewi masuk, seperti biasa kami berdiri untuk mengucapkan salam, kemudian duduk kembali dan berdoa.
Di tengah doa itu Joko menyapaku hangat
“Hei”
Dilemparnya tas ke bangku kosong disisiku. Tangan hitamnya menepuk nepuk dada mirip kingkong seraya berkata
“Ginan gak berangkat kan, aku partnermu hari ini”
“Lha, si udin nanti sendirian”
“Tenang, aku sudah kasih pinjem dia minyak sinyong-nyong ku, trus tak bilangin kalau dia merasa kesepian tak suruh cium minyak itu” Joko menerocos tak putus kata demi katanya
Aku menoleh ke Udin, ia tampak menunduk memegangi sesuatu. Sepertinya ia berusaha membuka sesuatu pula, Innalillahi.
“Gila si Udin, kayaknya dia kangen kamu deh, udah main cium aja tu minyak” bisikku ke Joko
Selesai doa, Bu Dewi berdiri. Matanya berkaca kaca, ia mencekuh selembar tisu di saku bajunya. Ia menangguhkan langkah ke tengah-tengah kelas lantas berkata
“Anak anak tolong diperhatikan”
Kelas sekejap menjadi senyap
“Ada berita duka dari teman kalian Mahfud Ginanto.”
Mendengar hal itu, kufokuskan perhatianku ke Bu Dewi
“Ayahnya, bapak Beny Kusnadi telah dipanggil oleh yang maha kuasa. Hari ini jenazah akan dimakamkan”
Kelas menjadi ribut, kemudian senyap lagi. Bu dewi kembali menyambung
“Bu guru dan rekan rekan lain akan menghadiri prosesi pemakaman, dikarenakan rumahnya yang agak jauh. Kalian hari ini dipulangkan jam 08.00”
Aku tercenung sedih, betapa tololnya aku tak mengetahui berita ini. Meski pulang pagi cukup mengembangkan tawa sebagian murid. Tetapi berita ini cukup membuat perih.
Bu dewi berkeliling kelas, menarik uang kematian.
Angin yang menyingkap Tabir
Senin, 7 November 2011
Pukul 08.00
Aku telah ditempat parkir sepeda yang lokasinya masih di lingkungan sekolah. Salahku, berpikir hari ini piket dan demi menemani Ginan piket pula aku berangkat agak awal. Praktis, sepedaku jauh berada di pojok sana.
Langkahku begitu lesu, jika tau aku harus mendapat berita buruk hari ini, lebih baik aku tidak berangkat sekolah saja tadi. Aku mematung disini, menunggu puluhan sepeda digiring keluar dari kandang oleh penggembalanya.
Apa daya, kaki ini ternyata tidak kuasa menahan berat tubuhku sendiri. Meski berjalan terseret-seret, akhirnya aku tiba juga di tepian pondasi taman. Kurasa cukup untuk memberiku peristirahatan sekejap. Disitu, kujelujurkan kaki sambil menatap langit, ku usahakan untuk serileks-rileksnya meski aku tahu beberapa orang sedang nyengir menertawaiku.
Awan masih bersih, posisi mentari pun masih bersahaja, tak terlalu menyilaukan mata. “Sungguh teganya awan itu”. Di tengah cobaan yang sedang menerpa seseorang di luar sana, ia masih saja terlihat cantik dibalut gradasi indah maha karya tuhan. Mentari itu sesekali tertimbun awan tipis, menyemburatkan gagap gempita cahaya ke seantero langit. Dari sana terbiaskan gambaran wajah, wajah yang tengah bersedih. Wajah yang tengah menangis.
“Doooorrr”
Satu orang telah mengganggu seremoni indahku. Dan seperti biasa, itu manusia yang hobi sekali mencopotkan jantung, siapa lagi kalau bukan Yena.
Yena datang dari ufuk timur, membuat wajahnya mendurjanai mentari, Menutup sekaligus melindungi mataku dari jerembab cahayanya. “Gerhana Yena”, aku menarik tulisanku diatas, ia tidak menghancurkan seremoniku, ia justru malah memperindah gagap gempita seremoniku.
“Woyy, bengong aja”
Tangan mungilnya memcubit kecil bisep ku. Dia berusaha ceria meski sebetulnya cuaca kalbunya sedang masam.
“eh ya, keciiiil …..”
“Asal kamu tahu ya, meski aku kecil tetapi aku tak lebih tinggi darimu” Sahutnya sewot, ia duduk disebelahku.
Dalam pertemuan dengan Yena hari itu, agaknya ia agak terbuka kepadaku. Dia bahkan menceritakan pertemuan pertamanya dengan Ginan dan momen saat Ginan lupa membawa uang ketika berniat mentraktirnya. Ceritanya begitu detail, sampai ke percakapan-percakapan kecil.
Tiba tiba aku teringat sesuatu
“Ikut aku”
Kakiku telah bertenaga kembali, aku mengajak Yena ke kelas untuk mengambil lipatan kertas yang kutemukan pagi tadi. Kuserahkan kepadanya. Dibukanya pelan, dibaca tulisan itu. Lalu dengan trengginas diberikan lagi kepadaku.
Diselimpangkannya tas untuk memudahkannya membuka resleting. Ia mengambil sebilah pulpen dari dalamnya. Kembali Yena menyerobot kertas tadi dari peganganku
“Oke, kau menganggapku lobi penitipan”. Sindirku ke Yena
“coba senyum deh”
Aku menurutinya
“Tu kan, mirip banget”
“???????????????”
Yena menambahkan beberapa tulisan di kertas Ginan itu, Tak lama, tak kurang dari lima menit, Yena selesai. Kertas itu ia lipat menjadi sebuah perahu kecil
“Ini, kamu nanti kerumahnya kan”. Yena menyerahkan kertas tadi
“Oke akan kusampaikan”
“Awas, jangan lihat lho”
“Ojeh Yen”
“Owh ya, sampaikan salamku, maaf gak bisa datang”
“Gampang itu ma”
“Sip deh, yuk pulang”
Yena membetulkan posisi tasnya dan kami pun keluar kelas
Sore ini, aku kerumahnya Ginan. Rumahnya lengang, tidak ada tanda tanda kehidupan, hanya saja ada satu buah sepeda baru terparkir di teras rumah. Itu memberiku sedikit keyakinan mungkin ada orang di rumah.
Kutuntun sepeda memasuki halaman rumah itu, aku menurunkan stand sepeda untuk memarkirkannya
Kuketuk pintu
“Assalamulaikum”
Agak lama menunggu, suara langkah kaki samar terdengar, lalu sesaat kemudian pintu pun terbuka
“Ginannn”. Sapaku seraya merangkulnya erat, tubuhnya dingin sekali.
“Siapa nan”. Suara halus terceletuk dari dalam rumah. Dan. Keluarlah wanita yang tak lain adalah ibu Ginan, jujur, aku terharu melihat ibu itu tetap terlihat tegar meskipun kehilangan orang yang dicintainya. Ialah ibu Rosmala.
Beliau mempersilahkanku masuk
“Nan, ditemani itu lo teman kamu,. Ibu ambilkan minum”
Sekedar basa basi aku berceletuk
“Tidak perlu bu, saya Cuma sebentar”
“Sudah…!! Itu menjadi tanggung jawab tuan rumah kepada tamu tamunya”
Aku hanya dapat mengangguk, Beliau tersenyum dan kembali ke dalam. Ginan merangkul pundakku hangat menggiringku pelan untuk duduk.
Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, Apalagi Ginan hanya menunduk tanpa bicara sepatah kata pun dari tadi.
Tapi Entah mengapa tiba tiba aku tergerak untuk memberikan perahu kertas tadi
“Nan, pagi tadi aku piket”
Ia tersenyum
“Maaf, kamu tadi piket sendirian ya”
“Bukan itu Nan, aku menemukan sesuatu”
Kuserahkan kertas itu, Ginan merengkuhnya, digenggamnya erat
“Maaf, tadi aku ngasih tau Yena Nan, dia menambahkan beberapa bait tadi”.
Isakan Ginan kini menjadi tangisan, Tangan Ginan menyingkap setetes air mata yang menjumbul sedikit di pelupuk matanya. Aku salah. Bodoh, aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Bad timing.
Untungnya bu Rosmala datang yang setidaknya sedikit memdinginkan suasana
Beliau memasuki ruangan dengan ceria membawa nampan berisikan setoples cemilan dan dua gelas teh manis. Di saat bersamaan, Ginan justru berlari keluar . Aku menghela napas, menyesali kenapa aku menemukan kertas itu dan kuberikan kepadanya, sekali lagi = bodohnya aku….
Aku sudah mengambil ancang-ancang berniat mengejarnya, tetapi Bu Rosmala menghalangiku. Beliau malah mempersilahkanku menikmati cemilan dulu.
Aku mati kutu, tak ada lagi yang dapat kulakukan. Bu Rosmala mentapku, senyum yang dipaksakan tadi lambat laun sirna, berganti air muka sedih. Beliau duduk di tempat Ginan tadi.
“Kemarin itu Ginan berulang tahun, ayahnya berjanji memberikan kejutan untuknya, ia mengangan-angannya sampai tak bisa tidur malam itu. Ayahnya memang tak berbohong, Kamu lihat sepeda di luar itu kan, itulah hadiah dari ayahnya”.
Beliau menceritakan semuanya, tak ada angin tak ada hujan, tak ada juga yang meninta, tiba tiba saja ia bercerita dengan sendirinya bak seorang story telling. Aku tahu, dalam hati beliau pasti tengah tertimbun berbagai macam prahara yang mengganjal dan beliau perlu orang untuk membantu meringankan prahara itu.
Hari yang melelahkan bagiku, dan menyedihkan pasti untuk Keluarga ini. “Tidak tidur karena membuat tugas prakarya ??” Hanya alasan yang dibuat-buat Ginan.
Jalan yang Berliku : Puisi Terakhir Ginan
6 Bulan kemudian
Ujian telah kami hadapi. Tibalah disuatu acara ceremonial terakhir di sekolah ini. Acaranya sederhana, hanya digelar di halaman sekolah dengan mendirikan sepetak podium yang terungkup tenda melengkung cantik. Meski begitu, acara ini menjadi penuh makna, ratusan pasang mata akhirnya mengetahui keajaiban kecil yang dimiliki tokoh kita ini.
Tiba di penghujung acara, Bu mus sebagai MC naik ke podium.
“Tak akan pernah ada rumput dipadang pasir, namun setidaknya di padang pasir ada hujan. Tidak pernah ada generasi hebat macam anak-anak ini, jika tidak ada kalian. Untuk penampilan terakhir, Kami mempersembahkan pertunjukan seni yang akan dibawakan oleh Mahfud Ginaaaaaaaaaanto”
Ginan gelagapan, tanpa persiapan ini itu, tiba-tiba ia dipanggil. Aku tertawa lucu melihat ekspresi Ginan, campuran antara takut dan panik, tangannya bergerak tak karuan.
Kebetulan sekali Ginan berada di sisi orang mahatolol yang setidaknya dapat diajak berembuk, aku dan joko. Ginan memulai bicara seperti radio rusak
“Aku harus menampilkan apa di panggung”
“Goyang aja Nan” jawabku
“Ni aku pinjemi kacamata” Joko juga usul
“Serius dong, aku belum persiapan sama sekali, pasti ada yang salah. Bias ada ada yang namanya Ginan selain aku”
“Nggak mungkin itu nan, bu Mus nyebutnya nama lengkap tadi”. Aku menjawab keresahan Ginan
“Kita butuh koreografi” Raut muka serius tertabur di wajah Joko
“Bu mus bilangnya pertunjukan seni” Semakin gersang hatinya
“Kamu naik panggung aja beri mereka kejutan. Pertama kamu tenang dulu berdiri takzim lalu mengucapkan salam, kemudian kamu harus mengagetkan penonton dengan goyang apa kek habis itu selamet deh kamu”. Usulku sok tau
Bu Mus kembali memanggil Ginan untuk kedua kalinya, Ginan semakin gugup. Tak dapat Ginan mengelak, sebelum pergi naik ia berpesan kepadaku
“Tolong, kamu tahu kan. Setelah aku tampil nanti antarkan celana dalam cadangan ke kamar mandi belakang, aku menunggumu disana”
Kemudian ia berlari untuk naik ke podium kehormatan, sedikit protes ke bu Mus dilakukan Ginan mengingat panggilan yang tak wajar ini
“Bu, Kenapa bu. SPP saja sudah lunas kan”
Bu mus tersenyum tak menaggapi, diserahknnya mic ke Ginan. Setelah menyambut mic dari Bu Mus ia berjalan pelan ke tengah podium dan mengucapkan salam. Setelah salam itu Ginan sepertinya masih belum tahu apa yang harus ditampilkannya. dipejamkan mata sembari sedikit menunduk. Kami panasaran menunggu.Lama menunggu akhirnya dia mulai mengangkat mic ke mulutnya
“Saya disini mau ….”
“Pipis” teriak Joko dari kerumunan penonton
“Ya saya mau berpsipissp”
Para orang tua yang hadir tertawa renyah, kami melongo, Joko menutup mulut dengan tangannya. Aku yakin dari otak polosnyo pasti terpikir “Ginan akan mengencingi semua orang disini tak terkecuali orang tuanya”.-Tolol.
Nampaknya Ginan tak sadar pengucapannya tadi “erroring voice”. Ia meneruskan bicaranya
Panggil
Dari nada bicara Ginan, sepertinya ia membaca puisi. Puisi dengan judul Panggil.
Kelopak seroja datang bersahaja
Kepakan surga menyesatkan dahaga
Engkau panggil dia di sudut cakrawala
Ribuan tombak membungkam langkahku
Untuk membubuhkan perpisahan terakhirku……
Kini aku tanpamu.
Jalan yang Berliku : Yena
Flashback
Keluarganya berkecukupan. Ayah dan ibunya bekerja di satu perusahaan yang sama, Pt. Transport inc. perusahaan asing yang berkecipung di bidang pemasaran internasional.
Yena adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan merupakan satu satunya anak perempuan diantara kakak adiknya. Lupakan nama kakak-kakaknya, kita beralih ke kisah Anatomi yang unik dari Yena hingga pendidikannya menghulu ke SD kampung kami.
Keluarganya tinggal di rumah sederhana di Jl. Merdeka No. 24, Babakan Ciamis, Bandung. Yena memulai pendidikan dasarnya di SDN Merdeka 5 Bandung lokasinya di Jl. Merdeka No.9, hanya berjarak 15 blok dari rumahnya.
Akan tetapi, justru di tahun ajaran terakhirnya ia pindah ke SD kampung di Kecamatan Gajah, Demak. Semuanya berjalan unik, penuh fantasi yang tak terduga, dan sedikit bumbu konyol.
Tahun 2009, Film percy Jackson and the Olympians : the lightning thief dirilis. Alkisah, kakak Yena membeli DVD film itu. Meskipun masih terlalu kecil untuk mencerna film tersebut Yena begitu dibuat takjub olehnya, dengan izin kakaknya DVD itu pun menjadi miliknya.
Dalam film itu ternyata sedikit banyak mempengaruhi imajinasi Yena. Ia mengagumi sosok dewi Athenna dan benar-benar menganggap dirinya adalah keturunan sang dewi, Asal kalian tahu saja, Yena tahu betul seluk beluk warisan keajaiban dunia dari tokoh-tokoh mitologi Yunani itu. {Kadang aku pun berpikir teman, siapakah orang yang pertama kali menuliskan perkara dewa-dewa itu beserta silsilah rumit dan kisah yang berbelit belit, jika pengarangnya hidup di dunia sekarang, ia pasti akan menciptakan Dewa dari apapun yang ia lihat. Seperti, ia pasti kan bersujud ketika melihat kipas angin seraya berdoa keras “Habuna habuna habuna ….. baraba baraba …. hoooom }
Rumahnya memang sederhana atau Bahasa kerennya minimalis, namun sudah cukup besar untuk keluarga kecil ini. Dan, Satu hal yang paling di syukuri Yena tinggal di Bandung adalah _Tidak dekat dengan laut.
Sejak kecintaannya pada mitologi yunani itu, laut menjadi salah satu perkara yang membuatnya takut, deburan ombak indah yang menghulu tiada hilir, tenang dan cantik acap kali membuatnya takut pasca dipandang, karena menurut kisah yang ia dapat dari Wikipedia, dewi athenna memiliki sengketa dengan dewa Poseidon, dewa laut.
Pernah sekali pasca pulang dari laut, ketakutan itu mengakar mencabaknya ke dalam mimpi. Yena bermimpi melihat istana indah di tengah rimbunnya terumbu karang, ia di air, mengapung tak tentu arah, Hingga, di ujung lautan sana, satu sosok menatapnya marah, bersiapmenunjuk Yena dengan trisula maut. Ialah dewa Poseidon.
Hingga suatu malam ketika hujan lebat turun, Yena mimpi berbeda dari malam malam sebelumnya, kali ini ia melihat seorang pria penuh luka dan darah terikat di sebuah pohon talia. Orang-orang berbaju putih mengitari dan menyiksanya dengan cambuk Osiris . Gempa mendengung, Dari kejauhan sana terlihat Dewa Poseidon muncul, kali ini dengan wajah muram durja, tak biasanya ia meninggalkan wilayah kekuasaannya.
Tiba tiba.
Krakkkkk,
Cengraman kaki dewi athenna menghantam tanah.
Dengan busur sacricops, ia membidik sesuatu diantara pohon talia tersebut. Yena tahu Athenna ingin menolong pria itu. Ketika busur telang menemukan bidikannya dan sedikit lagi meluncur Poseidon menghadangnya, terjadilah pertempuran antara keduanya. Dewi athena kalah, Yena berlari menghampirinya. Sang dewi nakpaknya ingin menyampaikan sesuatu, dari tangannya tersembul dua jari (telunjuk dan tengah). Yena yakin itu bukan sembarang mimpi, mimpi yang penuh arti, suatu misi dari dewi athena.
Mimpi ini memberi Yena sedikit perubahan. Yena mulai menulis buku diary, segala yang terjadi apapun itu meski cuma sekedar mimpi, tergores kecil nan rapi disitu. Dari mimpi itu juga, Yena menuliskan sebuah cerita, bukan cerpen, semacam Novel. Sampai sekarang (2 tahun pengerjaan) ia masih berkutat di tulisannya itu, sekitar 15 bab baru ia dapat. Satu babnya setidaknya terdiri dari 8.000 kata. Dan salutnya, semua itu ia tulis di buku.
Singkat cerita, ketika akan menginjakkan kakinya di kelas 6, orang tua Yena mendapat proyek besar yang menguntungkan bagi prospek mereka kedepannya. Namun, ia harus pergi ke luar kota atau bahkan luar negri untuk promosi setahun ini. Kedua orang tuanya dalam kebimbangan, apa Yena harus mereka ajak ? apa Yena harus diseret-seret, pindah sekolah ke sana kemari yang justru malah akan menggangu konsentrasi belajarnya. Apalagi mau ujian. {Kedua kakaknya telah kuliah, memang, perbandingan usia Yena jauh sekali dari kakaknya}
Pak yusuf teringat kakaknya yang di Demak, Pak Susilo dan Ibu Alima. Paman dan bibi Yena. Pak Yusuf menyampaikan this plan ke Yena, Tak ada kapal berlayar di es, tak ada pula ikan di kolam udang, Yena tiba-tiba saja bilang “YA”, spontan, cepat, ringkas. Tak tahu alasannya, kenapa?
Di Demak sana Pak Susilo dan ibu Alima senang mendengar Yena akan dititipkan kepada mereka setidaknya untuk satu tahun. Karena selama ini beliau hanya tinggal berdua, sepi tak terperi. Meskipun sebenarnya Pak Susilo memiliki dua anak, laki laki dan perempuan dan seperti yang kalian duga mereka sudah berumah tangga.
Jalan yang Berliku :
Ginan : Awal Pertemuanku Dengan Ginan
Seperti yang kalian ketahui tentang sahabatku ini, He is very shy and tends to be careless , Aku bersahabat dengan dia sejak kelas 4. Namun, sebenarnya, aku baru kenal dia di kelas tiga akhir, tak mungkin, Fix now
Rabu, 13 Mei 2009
Aku mengayuh sepeda sejadi jadinya, melewati setiap parameter jalan dengan hati cemas. Kurang lebih 10 menit yang lalu, sebuah jam milik pedagang kaki lima mengingatkanku akan waktu, pukul 06.50. itu artinya, jika perkiraanku benar. Sekarang seluruh jam di wilayah semarang dan sekitarnya sudah menunjukan pukul 7 tepat. Waktu yang telah mengaratkan rantai.
Kakiku menari-nari mengayuh tiada henti sampai rantai pun telah habis peluhnya, yang keluar hanya dercitan aneh. Kayuhanku akhirnya berhenti, gerbang sekolah masih terbuka. “apa yang aku cemaskan” batinku menggoda. Kutuntun sepeda ku menuju tempat parkir dan bergegas menuju ke kelas, bisa dibilang ini kali pertamanya aku terlambat.
Gagang pintu ini masih cukup hangat, logikanya berarti belum lama ini ada seseorang yang memegangnya. Kutarik perlahan gagang pintu itu dan kuucapkan salam. Aku agak kaget, hanya bu Sulistyani yang menyambut salamku. Bangku-bangku itu telah ditinggal pergi pemiliknya, kosong melompong. kaos berserakan dimana mana.
“Olahraga ..!!! ” Tanganku memupuk kening
Segera setelah mencium tanagn Bu Sulis, aku pergi ke kamar mandi untuk ganti baju, Kembali ke kelas menaruh baju, lalu ke lapangan belakang. Beruntung mereka baru pemanasan. Pak Nor yang melihatku melambaikan tangannya mengisyaratkan untukku segera masuk barisan.
Hari ini pak Nor memberikan materi sekaligus praktek lari jarak pendek atau dalam bahasa sekarang disebut sprint, intinya, kita akan di panggil satu persatu dipacu di padang rumput sejauh -/+ 100 M untuk sekadar dinilai. Alasan itu tak begitu berarti bagi sebagian orang.
Satu per satu mulai dipanggil, sesuai absensi tentunya ??, tiba di giliran Ginan Pak Nor kebingungan. Ia berbicara lantang kepada kami “Ginan berangkat kan ? “. Seluruh murid rata-rata membisu, kecuali Joko yang dari dulu memang ceplas-ceplos, bahkan bisa jadi Kak Rose “host acara rumpi termasyur negri” akan kalah jika dihadapkan dengan lelaki ndeso sok maskulin itu.
“Nyemplung sumur kali pak” Teriak Joko
“Di absen bapak dia berangkat kok” Ucap pak Nor tak menggubris Joko
Akhirnya aku juga yang menjadi korban
“Tadi yang telat siapa”
Teman-teman menyerukan namaku
“Kesini kamu”
Kakiku bergetar mendekat ke pak nor, ginjalku menyempit, membuatku ingin memuntahkan air seni. Beliau mendekatkan mulutnya ke telingaku, bulu kumisnya membuat aku agak geli, “Begini, Tolong kamu carikan Ginan” Singkat padat dan memanipulasi waktu. Kenapa dia bicara begitu formal untuk hal sekecil ini. Hahhh.
“BTW, wajah ginan itu bagaimana sich” Tanyaku ke Udin
Udin dengan angkuh menjawab “Nggak tau”
Aku bergegas mencarinya, kucoba ke kelas, namun yang kutemukan hanya cicak kawinan. Destinasi kedua, aku ke kamar mandi, siapa tau dia kebelet buang air besar “bisa jadi kan” batinku ragu. Ternyata juga tak ada. Kemana lagi aku harus mencari ? Haruskah aku ke gurun sahara.
“Gaiaaaaaa”
Teriakan lantang datang dari balik kamar mandi,
“Ciaat, hmmmmmmmmmmm, hayaaaaaaaaaaaaaa”
Aku mengenal betul, Gaia ????. Iyaa, Ultraman Gaia !!,
kuhampiri sumber suara itu. Seorang bocah, berbaju olahraga, dengan pedang batang singkong, ber-jutsu menyabeti pohon pisang dengan gerakan yang abstak.
Kuhampiri dia, kutepuk pundaknya. Dia kaget, tubuhnya mengkristal.
“Ginan kan, dicari pak Nor tuh, Giliran kamu lari”
Aku bagai kulit kacang. Ginan langsung ambil langkah seribu, tak menaggapi apa yang ku ucapkan.
Pukul 08.10
Pelajaran ini usai, rata-rata temanku mneghilirkan haluan ke kantin, sebagian ganti baju dan sisanya kembali ke kelas. Biasanya aku ke kantin, tetapi tidak untuk sekarang, uangku kelihatannya masih di saku baju tadi.
Sampai di kelas sesuatu dalam simpul syaraf menstimulasi otak untuk segera menggerakan kaki berlari ke kamar mandi. Di kamr mandi meski semua pintu tertutup, aku dibutakan oleh stimulan cemas itu. Kudobrak pintu itu sekuat tenaga, dan sialnya pintu itu tak seberat yang kuduga. Sebenarnya meksud hati aku hanya ingin menggedor pintu tapi malahan terbuka, menampilkan enigma yang tak etis kutuliskan disini. Yang jelas ada orang didalam situ dan orang itu refleknya payah. Bukannya kaget dan segera menutup pintu. Ia malah menatapku tak bergeming dengan ekspresi lucu. Justru malahan aku yang gelagapan menutup pintu.
“Maaf, nggak sengaja tadi” Tambatku setelah menutup pintu
“Santai ... santai ... bentar lagi selesai, kamu sudah kebelet kan ? “ celetuknya dari dalam kamar mandi.
Lama aku menunggu, akhirnya pintu pun terbuka.
“Silahkan” Ucapnya
“Tunggu tunggu, Ginan ....”
“ya”
“Bukan, aku kesini tu mau ngambil uang aku ketinggalan di kamar mandi, kamu nemuin nggak”
Ginan menyerahkan selembar uang
“Oh makasih”
“Sama-sama, maaf ya agak basah”
Sambil terkekeh aku berkata “Asal ini bukan air kencing kamu saja”
“Ya… “
“Apaaa !!!
”Iya, tadi nggak sengaja kukencingi”
Kulepaskan uang itu dari peganganku, dan kuusapkan tanganku ke celana Ginan
“Mana ada, Aku Cuma ganti baju doang tadi”
Disini aku terheran heran, orang macam apa dia ini, selera humornya payah
Kamis, 14 Mei 2009
Kali ini aku ingin berangkat lebih awal, bisa jadi jika hari ini telat aku dihukum. “Hari kamis kan hari sialku”.. Kata orang tuaku sih. Jalan masih lengang, aplagi ini di kampung, hanya truk truk pengangkut pasir yang sesekali lewat.
“Ginan, dia asik juga ya”
Sebenarnya salah satu alasan aku berangkat awal karena ada janji, di belakang kamar mandi di bawah pohon pisang.
Rabu, 13 Mei 2009
Bu Sulis telah mengakhiri mata pelajaran SBK di jam ini, Namun, setelah ini, istirahat akan berlangsung seakan 2 tahun lamanya. Para murid cemas, Pak Marwoto akan mengajar kita setelah jam istirahat. Guru matematika yang galaknya bukan main, melebihi anjing hutan.
Aku masing di bangku, di pintu sana aku melihat Ginan ikut memenuhi pintu yang sudah sempit dengan segerombolan wanita yang berebut keluar. Aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya. Setelah membereskan buku dimeja. Aku mengikutinya diam-diam. Dia pergi ke belakang kamar mandi, langkahnya mengendap endap menoleh saan sini, waspada.
Setelah dia rasa aman Ginan menggali tanah dekat pohon pisang yang telah disiksa tadi pagi, ia begitu bersemangat. Setelah galiannya cukup dalam, tampak tangannya merogoh sesuatu di dalam perutnya. Benda yang terbalut plastik, “Apa itu”
Sebelum ia membuka bungkusan itu, aku sudah mengangetkannya dulu
“Ginan”
Ia menoleh kaget akan kedatanganku, tetapi, kemungkinannya berbalik, ia malah membekap tanganku memberi sambutan. Dia nampaknya ingin memberitahukan sesuatu, sesuatu yang ia telah pendam sendiri, ia butuh teman untuk membuncahkan semua itu.
Sebentar saja, aku bisa merasakan aura ini, aura dari seorang anak gila yang penuh keistimewaan. Utopia.
“Nan, isi bungkusan itu apa” pertanyaan isieng terlontar dari mulutku
“Oooo, aku emang mau nunjukin ini ke kamu”
Aku berdecak bangga
“Kenapa aku?”
“Selain karena aku sudah tertangkap basah disini, aku punya alasan khusus“
“Aku mau tau dong dikit”
Dia mengeluarkan isi kantong kresek itu. Ada dua benda aneh, bentuknya mirip molen tetapi ada ukiran realitis di sana, satu Kristal mewarnainya sebagai benda kuno.
“Ini aku dapat …”
“Dapat dari mana ?”
Ginan mengerunyitkan dahi, dia tak yakin harus mengucapkannya
“Malam tadi, benda ini dikirim dari nebula m-78”
Itu terdengar asing ditelingaku, tetapi entah mengapa aku tak bisa tertawa. Raut wajah Ginan menandakan keseriusan.
“Semua itu datang dari mimpiku”
Aku mendengarkan serius
“Dalam mimpi itu, aku dirumah, tiba tiba gempa datang”
“Lalu ... lalu ...”
“Genting rumahku roboh, hanya menyisakan kerangka kayu lapuk. Pecahan-demi pecahan tersebar di seluruh penjuru rumah, aku takut. Yang dapat kulakukan hanya memejam mata”
“Bintang jatuh kan”
Mata Ginan berbinar menampakkan cahaya terang. Dia pun melanjutkan ceritanya
“Ya, benar. Aku tertarik kekuatan bintang jatuh, lajunya cepat, lebih cepat dari cahaya. Bintang itu berkata kepadaku –Dua cinta akan saling berpaling-“
Ia behenti sebentar, menarik napas
“Satu lubang membekap diriku, aku masuk kedalamnya, ribuan batu meteorid terasah lancip, tajam macam mata pisau. Samua itu menghujamku hingga sakitnya melebihi dicambuk malaikat 7 kali”
“Tunggu Ginan, bagaimana kamu tau, kalau rasa sakitnya melebihi cambukan malaikat .. berapa tadi ...” Protesku tak ragu
Ginan tak menggubrisnya, ia melanjutkan ceritanya “Tiba-tiba, satu cahaya merenggutku. Cahaya itu sempurna, mengasihiku, dan dia mempertemukanku dengan manusia cahaya, orang-orang memanggilnya ULTRAMAN”
“Biar ku tebak, dia pasti memberimu benda itu”
“Benar”
“Setelah itu apa yang akan kamu lakuin”
Dengan mantap Ginan mengucapkan “Aku akan menguburkannya disini, sampai aku menemukan apa yang dimaksud bintang jatuh di mimpiku”
“tapi karena aku menemukanmu, aku berikan satu untukmu”
Aku begitu senang menyambut pemberian Ginan itu, tak dapat kuartikan rasa senang itu. Ia muncul begitu saja. Dan lagi-lagi mimpilah yang menjadi almameter kepercayaan, sekalipun mimpi itu tak masuk akal.
“Besok jam 6 kita ketemu disini”
Ginan mengucapkannya dengan sorot mata serius
“Oke, oke”
Suasana hening sesaat, aku menatapi benda itu, begitu kagum aku melihatnya. Sekali lagi, aku tak tau kenapa ?
Suara gaduh kelas membuncahkan keheningan ini, suara yang keras, serak, sekaligus berat. Ginan menatap mataku lurus, tiba-tiba ia menampar pipiku keras
“Pak Marwoto……”
Kita berdua lari terpontal-pontal melewati lorong kelas yang suram, pak Marwoto pasti akan mematahkan telinga kita.
Okelah, kami memang kena marah sekaligus hukum oleh pak Marwoto, kami dipaksa push up 5 kali, memijiti kepala pelontosnya dan yang terakhir kita harus menyanyikan lagu nasida ria : perdamaian dengan vocal diganti e. Hukuman yang telah mutlak sejak beliau pertama kali mengajar. Kata beliau, lagu perdamaian mengajarkan semangat aspiratif seluruh umat beragama, bukan hanya umat islam.
Kamis 14 Mei 2009
Setibanya di sekolah, aku langsung menuju ke belakang kamar mandi. Ginan telah berada disitu.
“Nan, dari tadi ya”
“Nggak kok baru aja”
Aku mendekati Ginan
“Ada apa Nan, kita janjian di sini”
“Nggak, aku Cuma mau ngasih ini aja”
Diserahkannya buku kumal tak bersampul
“Nan, ini bener-bener anker, udah ketemuannya disini kamu kasih aku apa pula itu !!!”
“Udah ambil” Ginan memaksaku
Setelah kubuka buka buku itu, aku terbelalak sekaligus kagum.
“Tulisanmu macam cacing kremi nan”, aku hanya membatinnya.
Ginan kemudian bertanya kepadaku “ tentang cerita kemarin, kamu kok bisa tau itu bintang jatuh”
Aku menggelengkan kepala, bibirku tak dapat mengungkapkan satu kata pun, tulisan ginan begitu imajinatif.
Tunggu Kelanjutan Kisah Ini Dalam Versi Cetaknya
1 comments:
Click here for commentsHebat Ren....
No ReplyPancen Jempollll
#ELLANK
#ALAM DEWA