Story Of The Day : VENUS


“Bagaimana jika kita terlahir dengan kecacatan. Yang kumaksudkan bukanlah cacat fisik, tetapi cacat jiwa, cacat rohani, dan kecacatan sifat”

Iya Nus. Hari ini aku jatuh. Jatuh beneran maksudnya, bukan jatuhnya para ABG

Jatuh cinta kali … Maksud aku

Tapi nggak deh, ini serius masalah jatuh, disekolah pula.

Hari ini tu aku ada ulangan di sekolah. Kalau istilah multilanguagenya disingkat PAS (Penilaian Akhir Semester). Disini aku nggak bakal bahas itu Nus, aku nggak mau curhat tentang soal yang maha ruwet, apalagi tentang contekan yang nggak keluar sama sekali.
Ini hal lain Nus.

Aku telah menyelesaikan semua soal dengan ambisi membara (Saking membaranya, ada 5 soal yang ku kosongi). Aku maju mengumpulkan lembar jawabku, kemudian segera berjalan keluar.

Aku mendorong pintu yang belum tertutup sempurna sehingga terbuka, dan mendapati temanku_Fabih_duduk bersila di emperan kelas, sedang ngobrol kelihatannya. Baru ia melihatku keluar, sudah diajaknya aku ke Kafetaria untuk jajan. Apa boleh buat, ku-iya kan ajakannya dan begegaslah kami ke Kafe.

Karena tergesa-gesa dan acuh tak acuh. Aku mengenakan sepasang sandal baru cerai. Yang kanan sandal jepit kusut kekecilan, satunya lagi sandal model hay hil yang kekecilan pula. Tapi aku tidak peduli, lagi pula … siapa yang ngelihat sih.

Di jalan, aku menemukan sekumpulan guru-guru di depan salah satu kelas. Mereka Nampak asyik banget, kayak lagi ngomongin sesuatu. Aku sempat menangkap percakapan mereka.

“Ehh, pak Warno pak Warno” Panggil Guru agak tua ke Guru yang muda
Pak warno menoleh. Tetapi, seorang guru super tua nyerobot gitu aja “Ehh, pak Jupri, ada apa ini … ?”.

Pak Warno memancarkan ekspresi datar, seolah sudah terbiasa dengan hal macam ini. Lalu, dari kegelapan kelas datanglah biang keladi.

“Heyyy, Bapak bapak, gimana kisi-kisinya..udah dibagikan belum” Ujar sesorang keluar dari dalam kelas.

Pak Warno sudah melebarkan mulut, berniat menjawab. Tetapi lagi lagi Guru yang super tua itu nyerobot kayak sopir ojek. “Pasti donk pak, anak anak sedeh bingitz lho”. Dia berucap dengan logat medok.

Aku yakin deh, Dalam hati pak warno kalimat maksiat meluap lupa tanpa henti“Dasar tua Bangka, lambe kecepit solder, lihat saja jika aku besok naik jabatan dan menjadi kepala sekolah. Gue PHK luu ….!!!!”

Lupakan, inti masalahnya bukan itu. Aku santai lewat di depan kerumunan guru tersebut. Lalu tiba-tiba kami dipanggil

“Mas mas …” Aku menoleh. “Sini sebentar” ia menggerakan jari telunjuknya tanda meminta kami datang.

Kupikir kami akan dimintai tolong mengangkat sesuatu gitu, tapi taunya malah.

“Sandalmu guak iku lho. Sandal welek ngono kok Sandalmu buang itu lho, sandal jelek gitu kok
Aku menurut. Kubuka sandal tersebut dan membuangnya ke sampah.

“Nahh gitu, udah sana pakai sepatu” Ucapnya lagi. Apa boleh buat, aku pun kembali ke kelas mengambil sepatu di rak.

Fabih cengingiran membuntutiku di belakang, bahkan ada kemungkinan teman sekelasku melihat. Dan sekali lagi, siapa yang peduli.

Hal tersebut tidak memutus asa kami untuk jajan. Kami tetap pergi kafetaria dan mendapat pengikut baru. Rafli namanya. Mereka berdua bahkan berjalan dengan senyum sumringah tatkala melewati kerumunan guru-guru tadi, sedangkan aku??
Mulut kafetaria sudah menyongsong di depan tak jauh jaraknya. Di pelataran kafe, ada dua meja bundar dengan payung macam jamur. Biasanya dipakai untuk nongkrong-nongkrok, makan, atau sekedar ngobrol, bagi orang super intelektual, tempat ini bisa buat belajar sih.
Nahh, disitulah aku berhenti.

“Bihh, aku tunggu di sini ya … .“ kataku semanis mungkin

“Ayo, katanya jajan” ia tetap mengajak.

Aku mendengus. “Aku kan Cuma mengantar, kalau kalian mau beli silahkan, akum au belajar di sini” Seraya menunjuk salah satu kursi dari tiga kursi.
Rafli pun demikian, entah mengapa ia menikung dari niat ikut kami jajan. “Aku juga ngantar Bih” Katanya. Ia berjalan ke salah satu kursi dan mendudukinya.

Aku mengikutinya (Duduk di kursi)

Fabih tetap masuk ke kafe.

Disini aku sibuk meraba-raba saku, bahkan semua bagian tas aku cek secara teliti. Aku lupa bawa uang saku. Itulah alasanku tidak jadi jajan.

“Hey, lihat deh yang aku bawa” Fabih kembali membawa bungkusan plastik. Ditaruhnya di meja dan menguraikan satu persatu isinya. “Aku beli ini buat kalian” lanjutnya bersemangat.

“Ya ampun Bih, nggak usah lagi” Rafli menggeleng. Tetapi tangannya tetap mencomot satu roti di meja.

Fabih melirikku. “Hey, ini lho ambil”

“Nggak ahh, aku kenyang”

“Aku udah habis 10.000 lho buat beli ini” Rintihnya

Mataku melirik lirik jumlah makanan yang dibelinya. Ia membeli tiga potong roti seharga seribu-an dan tiga minuman gelas yang harganya juga seribu-an.

“Bisa aja Kamu” ucapku.

Alhasil, kami bertiga duduk disitu untuk mempersiapkan diri menghadapai ulangan nanti. Satu hal yang kutangkap dari obrolan kami disitu adalah. “Obrolan tanpa kita sadari mengubah tindakan yang akan kita lakukan kedepannya. Singkatnya Obrolan mengubah Takdir

Hal itu terbukti.

“Heyy … sesook neng pantai yuuk Hey, besok ke pantai yuk.” Rafli memancing pembicaraan.

“Ayo, neng ndy? ayo ke mana” Sahut Fabih. “Bandengan” lanjutnya.

“Terserah, yang penting besok pergi tahh, aku bosen di rumah” keluh Rafli.

Fabih mengangguk-angguk. “Piye, ayoo..” ia memandang Rafli, kemudian. Perasaan ku mulai tidak enak. Dia memandangku sambil manggut manggut “Ayoo Ren” Ajaknya.

Dari situ, aku sudah bisa menyimpulkan tidak bisa ikut karena besok (Hari Jum’at, libur karena bertepatan Maulid Nabi) sudah ada acara. Tak ingin mengecewakan, aku mengalihkan pembicaraan. “Heyy. Lihat dech” Jari telunjukku menukik ke bawah.

“Kursi” Rafli berkomentar

“Iya bener”

“Buat tapa?” kini Fabih menyela

Tanpa bicara. Aku berdiri mengangkat kursi tersebut (Kursi yang kududuki adalah kursi kayu lipat) dan melipatnya. Lalu membawanya ke balik tembok dimana tidak ada orang dari kelas yang melihatnya. Kecuali yang di dalam kafe, mereka pasti dapat melihat tingkahku.

“Buat dipantai Guys” Ujarku seperti tak punya dosa.

“Good idea” Fabih tersenyum. Rafli berbinar semangat.

Kukatakan ideku pada mereka “Kita sembunyikan tiga kursi ini, lalu waktu ke pantai kita angkat ketiganya…yuhuuuuuu”

“Malah kayak demo kali Ren’ Fabih mengoreksi, tetapi kemudian tersenyum setuju.
          
“Nggak sekalian aja payung ini kita bawa” Rafli mengusulkan. Payung segede pantat gajah berbentuk jamur adalah yang dimaksud.

Tidak terasa bel masuk pun berbunyi. Fabih berdiri, kemudian mengngkat kursinya, entah setan apa yang menyurupinya.

Tetapi tidak dengan Rafli. Ia hanya berdiri limbung.

“Ayo Raf” Kurenggut kursi di sampingnya. Lalu berlari ke tempat persembunyian itu. Fabih mengikutiku dan menyerahkan kursi itu kepadaku untuk ditempatkan.

Setelah itu aku berlari. Senyum bahagia terpancar dari rona wajahku, saking bahagianya aku sampai tidak dapat berkata-kata. Hanya pekikan “Aduh” yang akhirnya kuteriakan. Sepatuku menepuk rapuh di butir pasir. Seketika itu, sepatuku selip dan membuatku jatuh. Tubuhku menghujam ganas di lantai keramik, aku jatuh dengan terpenggal ke depan. Siku dan lutut kiri menjadi korbannya. Sekali lagi, andai aku Rafli tidak membicarakan pantai, mana mungkin aku jadi seperti ini.

Mereka hanya tertawa dan tanpa kusadar ada banyak orang yang melihatnya. Aku tak langsung bangun, kutahan nyeri di bagian tubuh yang kugunakan mendarat tadi. Lalu membalik tubuh sehingga posisinya telentang.

          “Baru kali ini lihat orang jatuh malahan nyaman”

          “Widiiiid … Jatuhnya dramatis Rendy. Kayak di Tv Tv”

          “Ciee … yang lagi nyaman … Jatuh cinta sama ubin ni yee.

Pesan moralku mungkin sederhana. “Karma itu pasti akan datang. Baik cepat maupun lambat, kedatangannya terkadang tidak kita sadari. Atau kadang datang pula lewat lagu. Charma…charma… charma… charma… charma Chameleon, you come and goo, you come and gooooo…”
         
Selanjutnya
« KLIK DI SINI
SEBELUMNYA
KLIK DI SINI »