Iya Nus. Hari ini
aku jatuh. Jatuh beneran maksudnya, bukan jatuhnya para ABG
Jatuh cinta kali … Maksud aku
Tapi nggak deh,
ini serius masalah jatuh, disekolah pula.
Hari ini tu aku
ada ulangan di sekolah. Kalau istilah multilanguagenya disingkat PAS (Penilaian
Akhir Semester). Disini aku nggak bakal bahas itu Nus, aku nggak mau curhat
tentang soal yang maha ruwet, apalagi
tentang contekan yang nggak keluar sama sekali.
Ini hal lain Nus.
Aku telah
menyelesaikan semua soal dengan ambisi membara (Saking membaranya, ada 5 soal
yang ku kosongi). Aku maju mengumpulkan lembar jawabku, kemudian segera berjalan
keluar.
Aku mendorong
pintu yang belum tertutup sempurna sehingga terbuka, dan mendapati
temanku_Fabih_duduk bersila di emperan kelas, sedang ngobrol kelihatannya. Baru
ia melihatku keluar, sudah diajaknya aku ke Kafetaria untuk jajan. Apa boleh
buat, ku-iya kan ajakannya dan begegaslah
kami ke Kafe.
Karena
tergesa-gesa dan acuh tak acuh. Aku mengenakan sepasang sandal baru cerai. Yang kanan sandal jepit
kusut kekecilan, satunya lagi sandal model hay
hil yang kekecilan pula. Tapi aku tidak peduli, lagi pula … siapa yang
ngelihat sih.
Di jalan, aku
menemukan sekumpulan guru-guru di depan salah satu kelas. Mereka Nampak asyik
banget, kayak lagi ngomongin sesuatu. Aku sempat menangkap percakapan mereka.
“Ehh, pak Warno pak Warno” Panggil
Guru agak tua ke Guru yang muda
Pak warno
menoleh. Tetapi, seorang guru super tua nyerobot gitu aja “Ehh, pak Jupri, ada
apa ini … ?”.
Pak Warno memancarkan
ekspresi datar, seolah sudah terbiasa dengan hal macam ini. Lalu, dari
kegelapan kelas datanglah biang keladi.
“Heyyy, Bapak bapak, gimana
kisi-kisinya..udah dibagikan belum” Ujar sesorang keluar dari dalam kelas.
Pak Warno sudah
melebarkan mulut, berniat menjawab. Tetapi lagi lagi Guru yang super tua itu
nyerobot kayak sopir ojek. “Pasti donk pak, anak anak sedeh bingitz lho”. Dia
berucap dengan logat medok.
Aku yakin deh,
Dalam hati pak warno kalimat maksiat meluap lupa tanpa henti“Dasar tua Bangka, lambe kecepit solder,
lihat saja jika aku besok naik jabatan dan menjadi kepala sekolah. Gue PHK luu
….!!!!”
Lupakan, inti masalahnya bukan itu.
Aku santai lewat di depan kerumunan guru tersebut. Lalu tiba-tiba kami
dipanggil
“Mas mas …” Aku menoleh. “Sini
sebentar” ia menggerakan jari telunjuknya tanda meminta kami datang.
Kupikir kami akan
dimintai tolong mengangkat sesuatu gitu, tapi taunya malah.
“Sandalmu guak iku lho. Sandal welek
ngono kok Sandalmu buang itu lho, sandal jelek gitu kok”
Aku menurut.
Kubuka sandal tersebut dan membuangnya ke sampah.
“Nahh gitu, udah sana pakai sepatu”
Ucapnya lagi. Apa boleh buat, aku pun kembali ke kelas mengambil sepatu di rak.
Fabih cengingiran
membuntutiku di belakang, bahkan ada kemungkinan teman sekelasku melihat. Dan
sekali lagi, siapa yang peduli.
Hal tersebut tidak memutus asa kami
untuk jajan. Kami tetap pergi kafetaria dan mendapat pengikut baru. Rafli
namanya. Mereka berdua bahkan berjalan dengan senyum sumringah tatkala melewati
kerumunan guru-guru tadi, sedangkan aku??
Mulut kafetaria
sudah menyongsong di depan tak jauh jaraknya. Di pelataran kafe, ada dua meja
bundar dengan payung macam jamur. Biasanya dipakai untuk nongkrong-nongkrok,
makan, atau sekedar ngobrol, bagi orang super
intelektual, tempat ini bisa buat belajar sih.
Nahh, disitulah
aku berhenti.
“Bihh, aku tunggu di sini ya … .“
kataku semanis mungkin
“Ayo, katanya jajan” ia tetap
mengajak.
Aku mendengus.
“Aku kan Cuma mengantar, kalau kalian mau beli silahkan, akum au belajar di
sini” Seraya menunjuk salah satu kursi dari tiga kursi.
Rafli pun
demikian, entah mengapa ia menikung dari niat ikut kami jajan. “Aku juga
ngantar Bih” Katanya. Ia berjalan ke salah satu kursi dan mendudukinya.
Aku mengikutinya
(Duduk di kursi)
Fabih tetap masuk
ke kafe.
Disini aku sibuk
meraba-raba saku, bahkan semua bagian tas aku cek secara teliti. Aku lupa bawa uang saku. Itulah alasanku
tidak jadi jajan.
“Hey, lihat deh yang aku bawa” Fabih
kembali membawa bungkusan plastik. Ditaruhnya di meja dan menguraikan satu
persatu isinya. “Aku beli ini buat kalian” lanjutnya bersemangat.
“Ya ampun Bih, nggak usah lagi” Rafli
menggeleng. Tetapi tangannya tetap mencomot satu roti di meja.
Fabih melirikku.
“Hey, ini lho ambil”
“Nggak ahh, aku kenyang”
“Aku udah habis 10.000 lho buat beli
ini” Rintihnya
Mataku melirik
lirik jumlah makanan yang dibelinya. Ia membeli tiga potong roti seharga
seribu-an dan tiga minuman gelas yang harganya juga seribu-an.
“Bisa aja Kamu” ucapku.
Alhasil, kami
bertiga duduk disitu untuk mempersiapkan diri menghadapai ulangan nanti. Satu
hal yang kutangkap dari obrolan kami disitu adalah. “Obrolan tanpa kita sadari
mengubah tindakan yang akan kita lakukan kedepannya. Singkatnya Obrolan mengubah Takdir”
Hal itu terbukti.
“Heyy … sesook neng pantai yuuk Hey,
besok ke pantai yuk.” Rafli memancing pembicaraan.
“Ayo, neng ndy? ayo ke mana”
Sahut Fabih. “Bandengan” lanjutnya.
“Terserah, yang penting besok pergi
tahh, aku bosen di rumah” keluh Rafli.
Fabih
mengangguk-angguk. “Piye, ayoo..” ia memandang Rafli, kemudian. Perasaan ku
mulai tidak enak. Dia memandangku sambil manggut manggut “Ayoo Ren” Ajaknya.
Dari situ, aku
sudah bisa menyimpulkan tidak bisa ikut karena besok (Hari Jum’at, libur karena
bertepatan Maulid Nabi) sudah ada acara. Tak ingin mengecewakan, aku
mengalihkan pembicaraan. “Heyy.
Lihat dech” Jari telunjukku menukik ke bawah.
“Kursi” Rafli berkomentar
“Iya bener”
“Buat tapa?” kini Fabih menyela
Tanpa bicara. Aku
berdiri mengangkat kursi tersebut (Kursi yang kududuki adalah kursi kayu lipat)
dan melipatnya. Lalu membawanya ke balik tembok dimana tidak ada orang dari
kelas yang melihatnya. Kecuali yang di dalam kafe, mereka pasti dapat melihat
tingkahku.
“Buat dipantai Guys” Ujarku seperti tak punya dosa.
“Good idea” Fabih tersenyum. Rafli
berbinar semangat.
Kukatakan ideku
pada mereka “Kita sembunyikan tiga kursi ini, lalu waktu ke pantai kita angkat
ketiganya…yuhuuuuuu”
“Malah kayak demo kali Ren’ Fabih
mengoreksi, tetapi kemudian tersenyum setuju.
“Nggak sekalian aja payung ini kita
bawa” Rafli mengusulkan. Payung segede pantat gajah berbentuk jamur adalah yang
dimaksud.
Tidak terasa bel
masuk pun berbunyi. Fabih berdiri, kemudian mengngkat kursinya, entah setan apa
yang menyurupinya.
Tetapi tidak
dengan Rafli. Ia hanya berdiri limbung.
“Ayo Raf” Kurenggut kursi di
sampingnya. Lalu berlari ke tempat persembunyian itu. Fabih mengikutiku dan
menyerahkan kursi itu kepadaku untuk ditempatkan.
Setelah itu aku
berlari. Senyum bahagia terpancar dari rona wajahku, saking bahagianya aku
sampai tidak dapat berkata-kata. Hanya pekikan “Aduh” yang akhirnya kuteriakan.
Sepatuku menepuk rapuh di butir pasir. Seketika itu, sepatuku selip dan
membuatku jatuh. Tubuhku menghujam ganas di lantai keramik, aku jatuh dengan
terpenggal ke depan. Siku dan lutut kiri menjadi korbannya. Sekali lagi, andai
aku Rafli tidak membicarakan pantai, mana mungkin aku jadi seperti ini.
Mereka hanya
tertawa dan tanpa kusadar ada banyak orang yang melihatnya. Aku tak langsung
bangun, kutahan nyeri di bagian tubuh yang kugunakan mendarat tadi. Lalu
membalik tubuh sehingga posisinya telentang.
“Baru kali ini lihat orang jatuh
malahan nyaman”
“Widiiiid … Jatuhnya dramatis Rendy.
Kayak di Tv Tv”
“Ciee … yang lagi nyaman … Jatuh cinta
sama ubin ni yee.
Pesan moralku
mungkin sederhana. “Karma itu pasti akan datang. Baik cepat maupun lambat,
kedatangannya terkadang tidak kita sadari. Atau kadang datang pula lewat lagu. Charma…charma… charma… charma… charma Chameleon,
you come and goo, you come and gooooo…”