☂ Sudahkah engkau melupakanku hai Adinda
☂ Tahukah engkau, hati ini amat menyesalinya
☂ Aku hanya dapat merinai nama indahmu dari
ekamatra yang ganjil
☂ Bayangmu secara berkala hadir, mengalun
anggun bersama hembusan angin titah sang
rembulan, angin yang begitu nyaman, hangat dan bersahaja
☂ Sudah lebih dari cukup tuk menspesikulasikan
cantikmu yang tinggal unsur tak berinduk di benakku
☂ Terkadang … Adinda
☂ Rembulan pun tengelam dalam bekapan langit
kelabu
☂ Menyulap angin itu menjadi selaka yang terasa amat dingin
☂ Napasku membeku, rongga mulutku menciut. Leher ini bagai ditikam parit berkarat, tetapi darahnya tak mengucur. Luka tanpa darah terkadang begitu perih ketimbang
luka hunusan panah sekalipun, sakitnya mendelisik jauh ke bagian tubuh yang tak
lagi mutlak kumiliki. Di luar kendali otakku lagi, ialah Hati
☂Dan saat itulah adinda .....
☂ Saat itulah ingatanku meracau ...
☂ Gelisah ....
☂ Haus akan keyakinan yang menenangkan
☂ Hingga suatu waktu......
☂ Sapaan hangatmu secara ajaib
mematik bara api yang telah lama padam
☂ Meredakan badai salju penyelimut korsase firdaus
☂ Acap kali kesempatan itu datang, akan kukenang selalu dan tak akan kulupa
☂ Kesempatan ketika mulut itu mengembangkan
senyum
☂ Sebagai penyeka durjana nan perih ini.