Dalam Rinaian Angin Fajar



Sudahkah engkau melupakanku hai Adinda

Tahukah engkau, hati ini amat menyesalinya

Aku hanya dapat merinai nama indahmu dari ekamatra yang ganjil

Bayangmu secara berkala hadir, mengalun anggun bersama  hembusan angin titah sang rembulan, angin yang begitu nyaman, hangat dan bersahaja

Sudah lebih dari cukup tuk menspesikulasikan cantikmu yang tinggal unsur tak berinduk di benakku

Terkadang … Adinda

Rembulan pun tengelam dalam bekapan langit kelabu

Menyulap angin itu menjadi selaka yang terasa amat dingin

Napasku membeku, rongga mulutku menciut. Leher ini bagai ditikam parit berkarat, tetapi darahnya tak mengucur. Luka tanpa darah terkadang begitu perih ketimbang luka hunusan panah sekalipun, sakitnya mendelisik jauh ke bagian tubuh yang tak lagi mutlak kumiliki. Di luar kendali otakku lagi, ialah Hati

Dan saat itulah adinda .....

Saat itulah ingatanku meracau ...

Gelisah ....

Haus akan keyakinan yang menenangkan

Hingga suatu waktu......

Sapaan hangatmu secara ajaib mematik bara api yang telah lama padam

Meredakan badai salju penyelimut korsase firdaus

Acap kali kesempatan itu datang, akan kukenang selalu dan tak akan kulupa

Kesempatan ketika mulut itu mengembangkan senyum

Sebagai penyeka durjana nan perih ini.
Selanjutnya
« KLIK DI SINI
SEBELUMNYA
KLIK DI SINI »